Sejarah sastra periode 1953 sampai 1961 part 2 | Anak Pantai

Sejarah sastra periode 1953 sampai 1961 part 2

Sastera Majalah
Salah satu alasan utama yang dikemukakan oléh meréka yang menuduh ada krisis sastera Indonesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer yang dalam tahun-tahun 1950-1951-1952-1953 selalu muncul dengan judul-judul baru, tebal-tebal pula, diélakkan oléh para penuduh itu dengan alasan bahwa roman-roman itu ditulis Pram dalam penjara, jadi sebelum tahun 1950.

Sejak tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak zaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastera, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini yang bernaung di bawah kementrian PP&K berkali-kali mengalami perubahan status. Perubahan-perubahan status yang dilakukan antara sebentar, ditambah oléh penempatan pimpinan di tangan orang yang bukan ahli, pula kian tak mencukupi anggaran yang tersedia, menyebabkan kemacetan produksinya. Demikian pula penerbit Pustaka Rakyat yang tadinya di samping Balai Pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastera, agaknya terlibatdalam berbagai kesukaran. Begitu juga dengan penerbit-penerbit lain seperti Pembangunan, Tintamas dan lain-lain.

Maka aktivitas sastera terutama hanya dalam majalah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Pudjangga Baru dan lain-lain. Karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpén, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oléh majalah-majalah, maka tak anéhlah kalau para pengarang pun lantas hanya mengarang cerpén, sajak dan karangan-karangan lain yang péndék-péndék.

Keadaan seperti inilah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastera majalah”. Istilah ini pertama kali dilansir oléh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya ‘Situasi 1954’ yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah Kompas yang dipimpinnya.

Pada masa sekitar persoalan “krisis kesusasteraan Indonesia’ diramaikan orang, ada pula persoalan lain yang menjadi pokok perhatian para peminat sastera, yaitu persoalan lahirnya angkatan sesudah ‘45, atau angkatan sesudah Angkatan Chairil Anwar. Dalam simposium sastera yang diselenggarakan oléh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1955, Harijadi S. Hartowardojo memberikan prasaran yang berjudul ‘Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar’. Juga dalam simposium-simposium di Yogjakarta, Solo dan kota-kota lain ada kecenderungan pikiran untuk menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang baru yang terasa tidak tepat lagi digolongkan kepada angkatan Chairil Anwar yang populér dengan nama Angkatan ‘45 itu.

Dalam simposium sastera yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan Prasaran tentang ‘Sumbangan Angkatan Terbaru Sasterawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusasteraan Indonesia’. Dalam prasaran itu dicoba untuk dicari ciri-ciri yang membédakan Angkatan Terbaru dengan Angkatan‘45.

Lebih lanjut dalam prasaran itu dikemukakan bahwa sikap budaya para sasterawan yang tergolong kepada ‘Angkatan Terbaru’ merupakan sintésis dari dua sikap ekstrim mengenai konsép kebudayaanIndonesia. Yang pertama ialah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia itu merupakan persatuan dan puncak-puncak kebudayaan daérah. Yang kedua ialah sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia ialah mendunia dan mempersétankan kebudayaan daérah. Maka sikap sintésisnya ialah kebudayaan nasional Indonesia akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia masa kini, yaitu adanya kebudayaan daérah dan adanya pengaruh dari luar.

Dalam seminar kesusasteraan yang diselenggarakan oléh Fakultas Sastera Universitas Indonesia tahun 1963, Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya yang berjudul ‘Soal Périodisasi dalam Sastera Indonesia’, mengemukakan bahwa mémang ada période baru sesudah tahun ‘50 yang tidak lagi bisa dimasukkan ke dalam période sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif mulai menulis pada période 1950 ialah meréka yang telah mempunyai “Sebuah Tradisi Indonesia sebagai titik tolak”. Sifat imitatif dan Belanda atau Eropa berkurang. Pandangan ke luar negeri tidak hanya ke Eropa, melainkan ke seluruh dunia. Ditambah pula oléh penghargaan yang wajar kepada sasterawan-sasterawan Indonesia sendiri.

Dibandingkan dengan para pengarang Angkatan ‘45, para pengarang yang lebih muda-muda itu menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak menguntungkan kehadirannya. Meskipun meréka mendapat tempat di halaman-halaman majalah yang ada ketika itu tetapi kebanyakan majalah itu, bahkan semua majalah itu, redaksinya dipegang oléh para pengarang yang tergolong kepada Angkatan ‘45. Hal ini menyebabkan para pengarang muda ini tidak mendapat kesempatan yang luas untuk mencari identifikasi diri dari kawan-kawannya. Dan agaknya berbéda dengan para pengarang Pujangga Baru dan Angkatan ‘45, para pengarang période ‘50 ini lebih menitikberatkan pada penciptaan. Hal ini berhubungan juga tentu dengan kurangnya pengetahuan meréka pada saat itu. Baru kemudian setelah berkesempatan menambah pengetahuan pula, meréka merumuskan cita-cita dan kehadirannya.

Dalam hal ini peranan majalah Kisah (1953-1956) tidak bisa dibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam période itu mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini. Juga banyak pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah Kisah. Patut disebutkan bahwa majalah ini, meskipun punya keterangan “bulanan cerita péndék” dan pada mulanya hanya memuatkan cerpén saja, namun kemudian berturut-turut memuatkan kritik, ésai bahkan akhirnya sajak. Karena itu nama-nama yang muncul di sini tidaklah terbatas kepada para pengarang cerpén atau prosa saja, melainkan juga kepada para penyair.

Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa Kompas yang setelah dipimpin oléh Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastera, majalah Prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit beberapa nomor, ruangan kebudayaan “Genta” dalam majalah Merdeka yang diasuh oléh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah Seni (terbit hanya setahun genap), majalah Konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah Budaya (terbit di Yogjakarta) dan beberapa majalah lain, di samping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat dan Indonesia.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA