Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Sebagai contoh dalam artikel ini, kita akan mengenal tentang kebudayaan Daerah Manggarai - Nusa Tenggara Timur dari segi kain. Berikut penjelasannya.
SONGKE
KAIN TENUN KHAS DAERAH MANGGARAI
Siprianus Aris
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia - FKIP - Universitas Papua
Pos-el: ariessipriano@gmail.com
KAIN TENUN KHAS DAERAH MANGGARAI
Siprianus Aris
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia - FKIP - Universitas Papua
Pos-el: ariessipriano@gmail.com
Sejarah Songke
Pada tahun 1613-1640 kerajaan Gowa Makasar-Sulawesi Selatan pernah berkuasa di hampir seluruh wilayah Manggarai Raya. Pertemuan dengan berbagai macam kepentingan budaya melahirkan sesuatu yang baru bagi kebuadaayan orang Manggarai termasuk di dalamnya masalah berbusana sehingga kebudayaan dari Makasar sebagiannya dibawa ke Manggarai termasuk juga masalah kain yang dipakai. Orang Makasar menyebut songke dengan sebutan songket, tetapi orang Manggarai lebih mengenalnya dengan sebutan songke (tanpa akhiran huruf t).
Makna Songke
Jika ditelusuri dari sisi sejarah, dahulu songke hanya dipakai oleh orang-orang tertentu saja yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari masyarakat biasa (golongan bangsawan) yang orang Manggarai sebut kraeng (tuan) atau daeng bagi orang Makasar. Kaum bangsawan itu menganggap bahwa songke merupakan wengko weki (kain pelindung tubuh). Dapat dibilang bahwa songke merupakan jejak budaya orang Manggarai.
Jenis dan Ukuran Songke
Ketika saya masih kecil, saya sering melihat kakek dan nenek saya pergi ke hutan mencari kapas hutan (dalam bahasa Manggarai kami menyebutnya kampas). Sepulangnya dari hutan mereka membawa banyak kapas. Kemudian kapas dipisahkan antara kulit buah, biji dan kapas yang akan dipakai. (Ciri pohon kapas hutan yang saya lihat ketika itu: tingginya sedang bahkan ada yang tidak mencapai satu meter, buahnya berbentuk lonjong kecil, daunnya berbentuk jari, dan ketika sudah tua, buahnya akan pecah, sehingga kapasnya mencuat keluar, tapi tidak mudah jatuh bahkan ketika ditiup angin, sehingga dari kejauhan kita bisa mengetahui, kalau di tempat itu ada pohon kapasnya, karena memang warna kapas yang alami putih, sangat jelas terlihat. Ada juga pohon kapas yang sengaja ditanam oleh kakek saya untuk keperluan sehari-hari membuat sumbu pada lampu pelita, untuk dijadikan benang jahit atau benang tenun setelah diproses secara tradisional). Kemudian kapas yang sudah dipisahkan, dijemur hingga benar-benar kering dan siap untuk dipintal.
Proses pemintalan menggunakan alat pemintal tradisional yang oleh orang Manggarai menyebutnya gasong (Alat yang terbuat dari sebuah papan berukuran kecil bulat yang ditengahnya dipasang kayu sebesar jari kelingking anak-anak). Kapas kemudian dililitkan pada ujung atas kayu kecil, lalu gasong diputarkan sehingga benang seperti dipintal, sambil jari tangan sebelah kiri menyambung kapas-kapas yang terpisah. Proses ini akan mengubah menjadi benang. Saya melihatnya sangat rapi, meskipun warna benang yang dihasilkan tidak seputih kapas ketika baru pertama kali diambil dari hutan, karena memang proses ini membutuhkan waktu yang lama, sehingga kadang kakek dan nenek saya sampai berkeringat.
Benang hasil pintalan kemudian dililitkan pada tubuh gasong sampai alat ini benar-benar tidak kelihatan kayu tengahnya dan sudah dirasa berat. Benang kemudian dipindahkan dari gasong ke alat yang namanya woer, yaitu alat untuk membentuk benang menjadi gumpalan-gumpalan berbentuk bulat seperti bola.
Proses untuk menghasilkan benang yang sudah siap dipakai tak hanya sampai di sini. Benang masih harus diwarnai sesuai kebutuhan (lazimnya warna hitam) menggunakan pewarna alami terbuat dari pohon nila dan arang. Setelah diwarnai, benang dikeringkan. Jika benang hendak dipakai sebagai benang jahit maka benang hasil pintalan harus terlebih dahulu dilicinkan dengan dengan liling (rumah lebah penghasil madu yang sudah dikeringkan kemudian dipadatkan). Caranya, benang ditempelkan atau ditekan dengan jari pada liling kemudian benang ditarik sehingga setiap serat benang menyatu. Akan tetapi, jika benang dipakai untuk menenun sehelai kain, maka langkah tadi dilewatkan.
Setelah benang mencukupi kebutuhan penenunan kain songke, benang kemudian dibuat menjadi mal kain dengan alat tradisional yaitu wenggi. (kayu berukuran 1,5 m sebanyak 2 buah untuk lebar dan 2 m sebnyak 2 buah untuk panjang yang dirangkai menjadi persegi panjang dan diletakan setinggi kurang lebih 30 cm diatas tanah dengan setiap sudut diberi bantu pengalas). Untuk memulai membentuk mal songke dibutuhkan 2 orang perempuan untuk duduk di dalam mal, lalu benang diikatkan pada kayu yang dijadikan lebar, apakah mulainya dari samping kiri atau kanan tergantung kelincahan dari yang mengerjakan. Keduanya berbagi tugas baik memberi maupun menerima benang. Benang yang diterima lalu dikaitkkan pada kayu lalu diberikan lagi kepada si pemberi. Begitu terus, hingga ukuran yang diinginkan terpenuhi. Proses pembuatan ini kita sebut dengan istilah maneng. Setelah maneng selesai, mal kain songke (berang) dipidahkan ke alat tenun tradisional. Ketika proses ini sudah dilakukan, maka aktivitas selanjutnya adalah menenun berang hingga menjadi sehelai kain songke. Proses ini membutuhkan waktu yang lama sekitar berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan tergantung pada ketersediaan benang, banyaknya motif yang digunakan dan kemahiran si penenun songke.
Alat-alat yang digunakan untuk menenun songke adalah sebagai berikut:
Di era modern ini, sudah tidak banyak orang di daerah-daerah di Kabupaten Manggaraiyang menggunakan cara tradisional untuk menghasilkan atau membuat benang. Selain karena cara tersebut rumit dan lama, pohon kapas sebagai penghasil bahan baku pembuatan benang juga sudah jarang ditemukan karena orang di daerah saya saat ini, semua sudah bermigrasi kepantai. Kita sama tahu bahwa pohon kapas sulit tumbuh di daerah yang panas. Banyak orang yang saya jumpai saat ini lebih memilih membeli benang yang sudah jadi, yang dijual di pasar-pasar, atau toko-toko.
Meskipun cara menenun kain Songke masih menggunakan cara tradisional, setidaknya untuk mendapatkan benang sudah tidak serumit zaman dulu. Saya juga kasihan dengan ibunda saya tercinta, yang harus mengorbankan banyak waktu untuk menghasilkan sehelai kain songke. Dengan teknologi yang semakin maju, setidaknya juga memberi banyak kemudahan bagi kaum perempuan di daerah saya dalam hal menenun kain Songke. Meski tak dapat dipungkiri juga bahwa, selain teknologi memberikan kemudahan, di sisi lain saya melihatnya justru menghilangkan secara perlahan tradisi turun-temurun nenek moyang orang Manggarai yang seharusnya generasi saat ini tahu akan hal tersebut. Saya sangat yakin, anak-anak Manggarai di daerah yang sudah terkena atau “terinfeksi” Budaya Barat Modern, sudah tidak lagi yang tahu menenunsongke. Jangankan disuruh untuk menenun songke, pegang alatnya saja tidak pernah. Apalagi orang tua yang sudah malas memberikan ilmunya kepada orang lain. Menambah terpuruknya Budaya asli Manggarai.
Meskipun tak luput dari masalah diatas, tetapi saya sangat mengagumi beberapa daerah di Manggarai Tengah (Manggarai) yang hingga saat ini generasi mudanya (perempuan) masih sangat aktif dalam hal menenun songke seperti: Todo, Wae Rebo, Cibal, dan Borik (tempat kelahiran saya). Karena kami memegang teguh falsafah hidup, bahwa sesorang anak perempuan tidak bisa di kawinkan/dinikahkan apabila yang bersangkutan tidak tahu atau mahir dalam menenun songke meskipun sudah masuk dalam zona atau umur pernikahan. Perempuan asli Manggarai wajib hukumnya untuk menenun songke, tanpa terkecuali.
Pemanfaatan Songke
Songke biasa dipakai dalam upacara adat seperti penti (Pesta Kenduri), caci (tarian adat Manggarai), lipa tabing (songke yang diberikan oleh kaum laki-laki kepada kaum perempuan pada saat lamaran), kawing (sebagai Belis/Emas Kawin), lipa rapu (pembungkus mayat), randang (membuka kebun baru), nempung (musyawarah), tombo adak (pembicaraan megenai adat) dan kegunaan sehari-hari seperti untuk sarung, pengganti busana ibadah baik kaum perempuan maupun laki-laki, baju, celana, jas, peci dan syal. Akan sangat terhormat apabila seseorang yang bertamu ke keluarga atau tetangganya mengenakan songke.
Songke banyak digemari bukan hanya oleh orang Manggarai sendiri tetapi juga orang dari luar daerah Manggarai bahkan sampai ke Luar Negeri, karena disamping kain ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari juga yang tak kalah menarik adalah keindahanberbagai motif yang ketika dipadukan menjadi satu membuat semua yang melihat terkagum-kagum. Berikut ini merupakan beberapa gambar kegunaan kain songke.
Nilai Songke
Warna dasar benang yang dipakai dalam penenunan songke adalah hitam yang bagi orang manggarai warna hitam melambangkan arti kebesaran dan keagungan serta kepasrahan bahwa semua manusia pada suatu saat akan kembali kepada Mori Kraeng (Sang Pencipta). Sedangkan warna benang untuk sulam umumnya warna-warna yang mencolok seperti merah, putih, orange, dan kuning. Motif yang dipakai pun tidak sembarang. Setiap motif mengandung arti dan harapan dari orang Manggarai dalam hal kesejahteraan hidup,kesehatan, dan hubungan, baik antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam maupun manusia dengan Sang Pencipta.
Berikut beberapa motif yang sering dipakai dalam penenunan kain songke dan maknanya:
Tradisi Songke
Sejauh yang saya amati hingga saat ini, tidak ada kriteria atau syarat yang dituntut bahkan upacara adat dan ritual khusus (tradisi) untuk mengizinkan seseorang memakai atau menggunakan kain songke. Siapa saja dapat memakai songke, selama tidak mengurangi rasa hormat akan kebudayaan orang manggarai, yah sah-sah saja. Dengan kata lain tidak ada tradisi khusus untuk dapat mengenakan kain songke.
REFERENSI
http://krisbheda.wordpress.co.id/2012/05/18/catatan-dari-emperan-tentang-kain-tenun-songke todo-manggarai/
http://chyntia-abbo.blogspot.co.id/2012/03/kain-songke-manggarai.html
http://angelina-febunmer.blogspot.co.id/2016/01/kain-songke-manggarai-ntt.html
http://citraindonesiaku.blogspot.co.id/2013/05/kain-songke-manggarai.html
http://www.yustasuryonoafriteo.blogspot.com
http://www.jambulkuning.blogspot.com
https://yanuirdianto.wordpress.com/2013/03/10/96/
Pada tahun 1613-1640 kerajaan Gowa Makasar-Sulawesi Selatan pernah berkuasa di hampir seluruh wilayah Manggarai Raya. Pertemuan dengan berbagai macam kepentingan budaya melahirkan sesuatu yang baru bagi kebuadaayan orang Manggarai termasuk di dalamnya masalah berbusana sehingga kebudayaan dari Makasar sebagiannya dibawa ke Manggarai termasuk juga masalah kain yang dipakai. Orang Makasar menyebut songke dengan sebutan songket, tetapi orang Manggarai lebih mengenalnya dengan sebutan songke (tanpa akhiran huruf t).
Makna Songke
Jika ditelusuri dari sisi sejarah, dahulu songke hanya dipakai oleh orang-orang tertentu saja yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari masyarakat biasa (golongan bangsawan) yang orang Manggarai sebut kraeng (tuan) atau daeng bagi orang Makasar. Kaum bangsawan itu menganggap bahwa songke merupakan wengko weki (kain pelindung tubuh). Dapat dibilang bahwa songke merupakan jejak budaya orang Manggarai.
Jenis dan Ukuran Songke
- Sarung: panjang 135 x lebar 170 cm
- Selendang atau syal: panjang 200 cm x lebar 20 dan 30 cm
- Baju: semua ukuran (M, L, S, XL, XXL)
- Rok: semua ukuran (M, L, S, XL, XXL)
- Peci: berbagai usia dengan ukuran tinggi 20 cm.
Ketika saya masih kecil, saya sering melihat kakek dan nenek saya pergi ke hutan mencari kapas hutan (dalam bahasa Manggarai kami menyebutnya kampas). Sepulangnya dari hutan mereka membawa banyak kapas. Kemudian kapas dipisahkan antara kulit buah, biji dan kapas yang akan dipakai. (Ciri pohon kapas hutan yang saya lihat ketika itu: tingginya sedang bahkan ada yang tidak mencapai satu meter, buahnya berbentuk lonjong kecil, daunnya berbentuk jari, dan ketika sudah tua, buahnya akan pecah, sehingga kapasnya mencuat keluar, tapi tidak mudah jatuh bahkan ketika ditiup angin, sehingga dari kejauhan kita bisa mengetahui, kalau di tempat itu ada pohon kapasnya, karena memang warna kapas yang alami putih, sangat jelas terlihat. Ada juga pohon kapas yang sengaja ditanam oleh kakek saya untuk keperluan sehari-hari membuat sumbu pada lampu pelita, untuk dijadikan benang jahit atau benang tenun setelah diproses secara tradisional). Kemudian kapas yang sudah dipisahkan, dijemur hingga benar-benar kering dan siap untuk dipintal.
Proses pemintalan menggunakan alat pemintal tradisional yang oleh orang Manggarai menyebutnya gasong (Alat yang terbuat dari sebuah papan berukuran kecil bulat yang ditengahnya dipasang kayu sebesar jari kelingking anak-anak). Kapas kemudian dililitkan pada ujung atas kayu kecil, lalu gasong diputarkan sehingga benang seperti dipintal, sambil jari tangan sebelah kiri menyambung kapas-kapas yang terpisah. Proses ini akan mengubah menjadi benang. Saya melihatnya sangat rapi, meskipun warna benang yang dihasilkan tidak seputih kapas ketika baru pertama kali diambil dari hutan, karena memang proses ini membutuhkan waktu yang lama, sehingga kadang kakek dan nenek saya sampai berkeringat.
Benang hasil pintalan kemudian dililitkan pada tubuh gasong sampai alat ini benar-benar tidak kelihatan kayu tengahnya dan sudah dirasa berat. Benang kemudian dipindahkan dari gasong ke alat yang namanya woer, yaitu alat untuk membentuk benang menjadi gumpalan-gumpalan berbentuk bulat seperti bola.
Proses untuk menghasilkan benang yang sudah siap dipakai tak hanya sampai di sini. Benang masih harus diwarnai sesuai kebutuhan (lazimnya warna hitam) menggunakan pewarna alami terbuat dari pohon nila dan arang. Setelah diwarnai, benang dikeringkan. Jika benang hendak dipakai sebagai benang jahit maka benang hasil pintalan harus terlebih dahulu dilicinkan dengan dengan liling (rumah lebah penghasil madu yang sudah dikeringkan kemudian dipadatkan). Caranya, benang ditempelkan atau ditekan dengan jari pada liling kemudian benang ditarik sehingga setiap serat benang menyatu. Akan tetapi, jika benang dipakai untuk menenun sehelai kain, maka langkah tadi dilewatkan.
Setelah benang mencukupi kebutuhan penenunan kain songke, benang kemudian dibuat menjadi mal kain dengan alat tradisional yaitu wenggi. (kayu berukuran 1,5 m sebanyak 2 buah untuk lebar dan 2 m sebnyak 2 buah untuk panjang yang dirangkai menjadi persegi panjang dan diletakan setinggi kurang lebih 30 cm diatas tanah dengan setiap sudut diberi bantu pengalas). Untuk memulai membentuk mal songke dibutuhkan 2 orang perempuan untuk duduk di dalam mal, lalu benang diikatkan pada kayu yang dijadikan lebar, apakah mulainya dari samping kiri atau kanan tergantung kelincahan dari yang mengerjakan. Keduanya berbagi tugas baik memberi maupun menerima benang. Benang yang diterima lalu dikaitkkan pada kayu lalu diberikan lagi kepada si pemberi. Begitu terus, hingga ukuran yang diinginkan terpenuhi. Proses pembuatan ini kita sebut dengan istilah maneng. Setelah maneng selesai, mal kain songke (berang) dipidahkan ke alat tenun tradisional. Ketika proses ini sudah dilakukan, maka aktivitas selanjutnya adalah menenun berang hingga menjadi sehelai kain songke. Proses ini membutuhkan waktu yang lama sekitar berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan tergantung pada ketersediaan benang, banyaknya motif yang digunakan dan kemahiran si penenun songke.
Alat-alat yang digunakan untuk menenun songke adalah sebagai berikut:
- Lihu, kayu yang diletakan di bagian belakang pinggang sebagai penahan beban (berang)
- Pesa, kayu yang dipasangkan antara berangdan lihu yang letaknya di bagian perut. Alat ini berpasangan dengan lihu yang dihungkan dengan wase (tali) sebagai pengait. Alat ini dipakai untuk penampung kain yang sudah jadi atau sudah ditenun.
- Mbira, sebagai pengancing benang yang dimasukan dari kiri atau kekanan juga untuk mengancing benang sulam motif dengan cara ditarik sebanyak 1 atau 2 kali ke arah perut.
- Keropong, bambu berukuran kecil tempat diletakannya keliri atau lebih cocoknya disebut sebagai rumah keliri agar ketika dimasukan diatara celah-celah benang berang, kliri tidak tersangkut. Keliri adalah kayu kecil berukuran sekitar 40 cm yang dililitkan benang yang dipakai sebagai pengunci benang sulam yang dimasukan dari kiri ke kanan.
- Jangka, alat yang berbentuk seperti sisir rambut yang berfungsi sebagai pemisah benang 1 helai ke sebelahnya. Jadi setiap ruang antara gigi jangka yang satu ke yang lain diletakan benang diantaranya.
- Nggolong, alat dari bambu yang berukuran sekitar ibu hari orang dewasa yang digunakan sebagai pemberi ruang agar kliri bisa masuk dari sebelah kiri ke kanan atau sebaliknya.
- Kerempak, kayu persegi yang dipakai sebagai penekan saat akan menggantikan posisi dari mbira dan nggolong.
- Donging, kayu bercabang yang membentuk sudut 30 derajat tempat menaruh banggang atau papan yang dilit oleh berang.
- Banggang, papan yang digunakan untuk melilitkan berang.
- Benang sulam digunakan untuk membentuk motif
- Berang, mal kain songke
Di era modern ini, sudah tidak banyak orang di daerah-daerah di Kabupaten Manggaraiyang menggunakan cara tradisional untuk menghasilkan atau membuat benang. Selain karena cara tersebut rumit dan lama, pohon kapas sebagai penghasil bahan baku pembuatan benang juga sudah jarang ditemukan karena orang di daerah saya saat ini, semua sudah bermigrasi kepantai. Kita sama tahu bahwa pohon kapas sulit tumbuh di daerah yang panas. Banyak orang yang saya jumpai saat ini lebih memilih membeli benang yang sudah jadi, yang dijual di pasar-pasar, atau toko-toko.
Meskipun cara menenun kain Songke masih menggunakan cara tradisional, setidaknya untuk mendapatkan benang sudah tidak serumit zaman dulu. Saya juga kasihan dengan ibunda saya tercinta, yang harus mengorbankan banyak waktu untuk menghasilkan sehelai kain songke. Dengan teknologi yang semakin maju, setidaknya juga memberi banyak kemudahan bagi kaum perempuan di daerah saya dalam hal menenun kain Songke. Meski tak dapat dipungkiri juga bahwa, selain teknologi memberikan kemudahan, di sisi lain saya melihatnya justru menghilangkan secara perlahan tradisi turun-temurun nenek moyang orang Manggarai yang seharusnya generasi saat ini tahu akan hal tersebut. Saya sangat yakin, anak-anak Manggarai di daerah yang sudah terkena atau “terinfeksi” Budaya Barat Modern, sudah tidak lagi yang tahu menenunsongke. Jangankan disuruh untuk menenun songke, pegang alatnya saja tidak pernah. Apalagi orang tua yang sudah malas memberikan ilmunya kepada orang lain. Menambah terpuruknya Budaya asli Manggarai.
Meskipun tak luput dari masalah diatas, tetapi saya sangat mengagumi beberapa daerah di Manggarai Tengah (Manggarai) yang hingga saat ini generasi mudanya (perempuan) masih sangat aktif dalam hal menenun songke seperti: Todo, Wae Rebo, Cibal, dan Borik (tempat kelahiran saya). Karena kami memegang teguh falsafah hidup, bahwa sesorang anak perempuan tidak bisa di kawinkan/dinikahkan apabila yang bersangkutan tidak tahu atau mahir dalam menenun songke meskipun sudah masuk dalam zona atau umur pernikahan. Perempuan asli Manggarai wajib hukumnya untuk menenun songke, tanpa terkecuali.
Pemanfaatan Songke
Songke biasa dipakai dalam upacara adat seperti penti (Pesta Kenduri), caci (tarian adat Manggarai), lipa tabing (songke yang diberikan oleh kaum laki-laki kepada kaum perempuan pada saat lamaran), kawing (sebagai Belis/Emas Kawin), lipa rapu (pembungkus mayat), randang (membuka kebun baru), nempung (musyawarah), tombo adak (pembicaraan megenai adat) dan kegunaan sehari-hari seperti untuk sarung, pengganti busana ibadah baik kaum perempuan maupun laki-laki, baju, celana, jas, peci dan syal. Akan sangat terhormat apabila seseorang yang bertamu ke keluarga atau tetangganya mengenakan songke.
Songke banyak digemari bukan hanya oleh orang Manggarai sendiri tetapi juga orang dari luar daerah Manggarai bahkan sampai ke Luar Negeri, karena disamping kain ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari juga yang tak kalah menarik adalah keindahanberbagai motif yang ketika dipadukan menjadi satu membuat semua yang melihat terkagum-kagum. Berikut ini merupakan beberapa gambar kegunaan kain songke.
Nilai Songke
Warna dasar benang yang dipakai dalam penenunan songke adalah hitam yang bagi orang manggarai warna hitam melambangkan arti kebesaran dan keagungan serta kepasrahan bahwa semua manusia pada suatu saat akan kembali kepada Mori Kraeng (Sang Pencipta). Sedangkan warna benang untuk sulam umumnya warna-warna yang mencolok seperti merah, putih, orange, dan kuning. Motif yang dipakai pun tidak sembarang. Setiap motif mengandung arti dan harapan dari orang Manggarai dalam hal kesejahteraan hidup,kesehatan, dan hubungan, baik antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam maupun manusia dengan Sang Pencipta.
Berikut beberapa motif yang sering dipakai dalam penenunan kain songke dan maknanya:
- Motif wela kawu (bunga kapuk) bermakna keterkaitan antara manusia dengan alam sekitarnya.
- Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras.
- Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya.
- Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa “porong langkas haeng ntala” supaya senantiasa tinggi sampai ke bintang. Maksudnya, agar senantiasa sehat, diberikan umur yang panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.
- Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
Tradisi Songke
Sejauh yang saya amati hingga saat ini, tidak ada kriteria atau syarat yang dituntut bahkan upacara adat dan ritual khusus (tradisi) untuk mengizinkan seseorang memakai atau menggunakan kain songke. Siapa saja dapat memakai songke, selama tidak mengurangi rasa hormat akan kebudayaan orang manggarai, yah sah-sah saja. Dengan kata lain tidak ada tradisi khusus untuk dapat mengenakan kain songke.
REFERENSI
http://krisbheda.wordpress.co.id/2012/05/18/catatan-dari-emperan-tentang-kain-tenun-songke todo-manggarai/
http://chyntia-abbo.blogspot.co.id/2012/03/kain-songke-manggarai.html
http://angelina-febunmer.blogspot.co.id/2016/01/kain-songke-manggarai-ntt.html
http://citraindonesiaku.blogspot.co.id/2013/05/kain-songke-manggarai.html
http://www.yustasuryonoafriteo.blogspot.com
http://www.jambulkuning.blogspot.com
https://yanuirdianto.wordpress.com/2013/03/10/96/
Sekian....
===========
Oleh:
ariesrutung95
1 komentar:
Deposit Pulsa Ligapoker Bandar Judi Online Terpercaya di Era Milenial #ligapoker #indomaret24jam #Ligapokerpkv #Lpkiukiu #ligapkr #bandarQ #bandarjudionline #milenial #sakong #capsasusun #180.215.12.116 #uangdomino #vipligapoker #depositpulsa #dppulsa #depopulsa #pulsaligapoker #menangrupiah
ReplyPost a Comment
Jangan lupa tinggalkan komentar. Kritiklah sesuka Anda!