Setelah Chafril Anwar meninggal dunia, lingkungan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka seakan-akan kehilangan vitalitas. Asrul Sam yang beberapa lamanya asyik menulis esai, sudah jarang sekali menulis sajak atau hasil sastera lainnya. Demikian pula Rivai Apin. Padahal kedua orang itu tadinya dianggap sebagai tumpuan harap yang akan melanjutkan kepeloporan Chairil.
Sementara itu dalam kehidupan nasional pun kabut yang suram mulai tampak: mengisi kemerdekaan ternyata tidak semudah yang diangankan ketika masih dijajah dan ketika masih memperjuangkannya. Pemimpin-pemimpin banyak yang bosan berjuang lalu melakukan penyeléwéngan-penyeléwéngan. Bibit-bibit korupsi dan manipulasi mulai merasuk merusak masyarakat dan negara. Pertikaian antara golongan-golongan politik kian nyata membuktikan bahwa bagi meréka yang penting bukanlah kehidupan bangsa dan negara. Apa pula rakyat. Melainkan golongannya sendiri, partainya sendiri; bahkan dirinya sendiri saja.
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan simposium tentang “Kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Dalam simposium yang diselenggarakan oléh golongan-golongan kebudayaan Gelanggang, Lékra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pudjangga Baru itu dibahas kesulitan-kesulitan zaman peralihan, ditinjau dari sudut sosiologi, psikologi dan ékonomi. Di antara para pembicara ialah St. Sjahrir, Moh. Said, Mr. Sjafrudin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Dr. J. Ismaél, Sutan Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saléh dan lain-lain. Dalam simposium itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun berikutnya, tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusasteraan Indonesia. Antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Wertheim dan lain-lain. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang impase (kemacetan) dan “krisis sastera Indonesia sebagai akibat dari gagalnya révolusi Indonesia”. Tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai betul ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Dalam nomor pertama majalah itu dimuat ésai Soedjatmoko (lahir di Sawahlunto tanggal 10 Januari 1922) berjudul ‘Mengapa Konfrontasi’. Dalam karangan itu secara tandas dikatakan bahwa sastera Indonesia mengalami krisis.
Dalam Esainya itu Soedjatmoko melihat adanya krisis sastera sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa sastera Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpén-cerpén kecil yang “Berlingkar sekitar psikologisme perseorangan semata-mata”. Roman-roman besar tak ada ditulis.
Karangan Soedjatmoko ini mendapat réaksi hébat. Terutama dari kalangan sasterawan sendiri.
Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejoeng Saléh dan lain-lain secara tandas disertai dengan bukti-bukti yang sukar untuk dibantah, menolak penamaan “krisis sastera”. Menurut meréka, sastera Indonesia sedang hidup dengan subur. H.B. Jassin dalam simposium sastera Universitas Indonesia di Jakarta pada bulan Désémber 1954, mengemukakan prasaran yang dengan tandas diberinya judul: ‘Kesusasteraan Indonesia Modéren Tidak Ada Krisis’. Dengan bukti-bukti dan dokuméntasi yang lengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impase dalam kehidupan sastera Indonesia.
Dalam tulisan berjudul ‘Situasi 1954’ yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H. yang ketika itu baru pulang dari Spanyol, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “impase sastera Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “mite” (dongeng) belaka. Menurut Nugroho asal-usul timbulnya “mite” itu ialah pésimisme yang berjangkit di kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah pengakuan kedaulatan. Pésimisme itu berjangkit di kalangan meréka yang pada zaman federal hidup lebih énak dari meréka yang pada masa révolusi punya impian-impian yang muluk indah tentang zaman sesudah perang kemerdékaan. Nugroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “old crack” Angkatan ‘45 yang pada sekitar tahun 1945 mengalami zaman keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran lalu meréka berpegang pada zaman keemasan yang sudah lampau sambil menjelék-jelékkan zaman sekarang dengan banyak tokoh-tokoh baru.
Sitor Situmorang dalam tulisannya yang berjudul ‘Krisis H.B. Jassin’ dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastera, melainkan krisis ukuran menilai sastera. Dan karena ketika itu sebagai kritikus yang terkemuka bahkan satu-satunya pula ialah HB. Jassin, maka Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang teiadi ialah krisis dalam diri Jassin sendirii karena ukurannya tidak matang.
Sementara itu dalam kehidupan nasional pun kabut yang suram mulai tampak: mengisi kemerdekaan ternyata tidak semudah yang diangankan ketika masih dijajah dan ketika masih memperjuangkannya. Pemimpin-pemimpin banyak yang bosan berjuang lalu melakukan penyeléwéngan-penyeléwéngan. Bibit-bibit korupsi dan manipulasi mulai merasuk merusak masyarakat dan negara. Pertikaian antara golongan-golongan politik kian nyata membuktikan bahwa bagi meréka yang penting bukanlah kehidupan bangsa dan negara. Apa pula rakyat. Melainkan golongannya sendiri, partainya sendiri; bahkan dirinya sendiri saja.
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan simposium tentang “Kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Dalam simposium yang diselenggarakan oléh golongan-golongan kebudayaan Gelanggang, Lékra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pudjangga Baru itu dibahas kesulitan-kesulitan zaman peralihan, ditinjau dari sudut sosiologi, psikologi dan ékonomi. Di antara para pembicara ialah St. Sjahrir, Moh. Said, Mr. Sjafrudin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Dr. J. Ismaél, Sutan Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saléh dan lain-lain. Dalam simposium itu dilontarkan istilah “krisis akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun berikutnya, tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusasteraan Indonesia. Antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Wertheim dan lain-lain. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang impase (kemacetan) dan “krisis sastera Indonesia sebagai akibat dari gagalnya révolusi Indonesia”. Tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai betul ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Dalam nomor pertama majalah itu dimuat ésai Soedjatmoko (lahir di Sawahlunto tanggal 10 Januari 1922) berjudul ‘Mengapa Konfrontasi’. Dalam karangan itu secara tandas dikatakan bahwa sastera Indonesia mengalami krisis.
Dalam Esainya itu Soedjatmoko melihat adanya krisis sastera sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa sastera Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpén-cerpén kecil yang “Berlingkar sekitar psikologisme perseorangan semata-mata”. Roman-roman besar tak ada ditulis.
Karangan Soedjatmoko ini mendapat réaksi hébat. Terutama dari kalangan sasterawan sendiri.
Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejoeng Saléh dan lain-lain secara tandas disertai dengan bukti-bukti yang sukar untuk dibantah, menolak penamaan “krisis sastera”. Menurut meréka, sastera Indonesia sedang hidup dengan subur. H.B. Jassin dalam simposium sastera Universitas Indonesia di Jakarta pada bulan Désémber 1954, mengemukakan prasaran yang dengan tandas diberinya judul: ‘Kesusasteraan Indonesia Modéren Tidak Ada Krisis’. Dengan bukti-bukti dan dokuméntasi yang lengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impase dalam kehidupan sastera Indonesia.
Dalam tulisan berjudul ‘Situasi 1954’ yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H. yang ketika itu baru pulang dari Spanyol, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “impase sastera Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “mite” (dongeng) belaka. Menurut Nugroho asal-usul timbulnya “mite” itu ialah pésimisme yang berjangkit di kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah pengakuan kedaulatan. Pésimisme itu berjangkit di kalangan meréka yang pada zaman federal hidup lebih énak dari meréka yang pada masa révolusi punya impian-impian yang muluk indah tentang zaman sesudah perang kemerdékaan. Nugroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “old crack” Angkatan ‘45 yang pada sekitar tahun 1945 mengalami zaman keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran lalu meréka berpegang pada zaman keemasan yang sudah lampau sambil menjelék-jelékkan zaman sekarang dengan banyak tokoh-tokoh baru.
Sitor Situmorang dalam tulisannya yang berjudul ‘Krisis H.B. Jassin’ dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastera, melainkan krisis ukuran menilai sastera. Dan karena ketika itu sebagai kritikus yang terkemuka bahkan satu-satunya pula ialah HB. Jassin, maka Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang teiadi ialah krisis dalam diri Jassin sendirii karena ukurannya tidak matang.
Post a Comment
Jangan lupa tinggalkan komentar. Kritiklah sesuka Anda!