Etnografi Komunikasi dalam Sosiolinguistik | Anak Pantai

Etnografi Komunikasi dalam Sosiolinguistik

Pengantar: Etnografi komunikasi adalah suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi sebuah   komunitas budaya. Secara makro kajian ini adalah bagian dari etnografi. Etnografi komunikasi (Ethnography of communication) merupakan pengembangan dari Etnografi Berbahasa (Ethnography of sepaking), yang dikemukakan oleh Dell Hymes pada tahun 1962 (Ibrahim, 1994). Pengkajian etnografi komunikasi ditujukan pada kajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu mengenai cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya.
Pada perkembanggannya, Hymes mengubahnya dari ethnography of speaking menjadi ethnography of communication karena kerangka acuan yang digunakan bukan pada bahasa melainkan pada komu– nikasinya. Bahasa tidak akan punya makna tanpa dikomunikasikan.
Dell Hymes sebagai pencetus teori etnografi komunikasi, memberikan batasan tegas antara linguistik dan komunikasi. Kajian etnografi komunikasi bukanlah kajian linguistik namun merupakan kajian etnografi, serta bukan pula mengenai bahasa, tetapi mengenai komunikasi. “… it is not linguistics, but ethnography, not language, but communication, which must provide the frame of reference within which the place of language in culutre and society is to be assessed” (…ini bukan linguistik, tapi etnografi, bukan bahasa, tapi komunikasi, yang harus melengkapi kerangka pikir secara mendalam tempat bahasa dalam kebudayaan dan masyarakat ditetapkan) (Hymes, 1971:4, dalam Alwasilah, 2003:61).
Pengertian Etnografi Komunikasi
Koentjaraningrat (2008), mengatakan bahwa etnografi komunikasi adalah “kajian bahasa dalam perilaku komunikasi dan sosial dalam masyarakat (yang kemudian disebut masyarakat tutur), meliputi cara dan bagaimana bahasa digunakan dalam masyarakat dan budaya yang berbeda-beda.” Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua hal yang menjadi garis besar dalam kajian metode penelitian etnografi komunikasi, yaitu bahasa (linguistik) dan budaya (antropologi).
Etnografi komunikasi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, dan/atau bahasa. Etnografi hampir sama dengan etnologi, yaitu ilmu tentang unsur atau masalah kebudayaan suku bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh dunia secara komparatif dengan tujuan mendapat pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi.
Etnisitas merupakan objek kajian etnografi. Etnografi merupakan bagian dari cabang ilmu antroplogi budaya yang mempelajari berbagai kebudayaan suatu masyarakat berupa aktivitas nyata masyarakat. Secara khusus etnografi adalah ilmu yang mempelajari tentang pendeskripsian kebudayaan suku-suku bangsa (etnik) yang hidup tersebar di muka bumi. Kemudian, etnografi komunikasi yaitu bidang ilmu etnolinguistik atau sosiolinguistik tentang bahasa dalam hubungannya dengan semua variabel di luar bahasa. Yang dimaksud dengan variabel di luar bahasa tersebut adalah kebudayaan etnisitas dan faktor sosial lainya. Faktor-faktor sosial itu, mencakupi status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya: siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.

Tujuan Etnografi Komunikasi
Sebagai ilmu yang relatif baru namun banyak digunakan sebagai metode penelitian, etnografi memiliki beberapa tujuan yaitu:
  1. Mengkaji bentuk dan fungsi bahasa yang tersedia dalam suatu budaya untuk berkomunikasi satu sama lain.
  2. Melihat bagaimana bentuk dan fungsi bahasa tersebut menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang berbeda-beda.
  3. Mendapatkan analisa dari pola komunikasi suatu budaya sosial masyarakat dari aspek bahasa yang diterapkan dan dikomunikasikan.
Selain itu, Hymes membagi ruang lingkup kajian bidang ilmu etnografi komunikasi ke dalam beberapa bagian, yaitu:
  1. Hakikat dan definisi mengenai apa itu masyarakat berbahasa/tutur.
  2. Cara masyarakat dalam suatu budaya melakukan komunikasi.
  3. Pola komunikasi yang digunakan dan apa fungsinya.
  4. Komponen penting yang ada dalam keterampilan dan kompetensi komunikasi.
  5. Hubungan antara pandanga dunia mengenai bahasa dan organisasi sosial masyarakat.
  6. Kajian mengenai bahasa (linguistik), ketidaksetaraan, dan kehidupan sosial yang universal.
Objek Penelitian Etnografi Komunikasi
Beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi komunikasi yang juga merupakan objek penelitian dari enografi komunikasi itu sendiri antara lain, sebagai berikut:

Tata cara bertutur
Tata cara bertutur merupakan aturan-aturan yang dilakukan oleh pembicara dan pendengar pada saat berkomunikasi berkaitan dengan kebiasaan atau adat istiadat. Misalnya: 1) seorang anak kecil yang berbicara dengan orang tua harus memperhatikan mata dari pembicara; 2) pendengar tidak boleh memotong pembicaraan dari pembicara sebelum pembicara  benar-benar selesai berbicara; 3) Tradisi di dalam lingkungan keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam pembicaraan dengan orang tua mereka, tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua tanpa seizin si orang tua, tanpa diminta untuk berbicara. Kalau pun si anak mempunyai kesempatan karena ada waktu, dia biasanya memulai ujarannya, yang benada minta izin dengan mengucapkan “Nuwun sewu,…. ” (minta beribu maaf). Dengan demikian, tata cara bertutur itu berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dan kelompok masyarakat yang lain.

Guyup tutur
Guyup tutur merupakan komunitas atau kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi di dalam wilayah tertentu menggunakan suatu bahasa tertentu pula. Masyarakat tutur bukan hanya sekelompok masyarakat dalam budaya tertentu yang menggunakan bahasa sebagai tindakan komunikasi mereka, melainkan juga memiliki kaidah berbahasa dalam satu variasi bahasa.
Orang Orang Inggris dan Amerika sama-sama berbahasa Inggris tetapi mempunyai tatacara bertutur yang berbeda di tempat “umum”, misalnya restauran. Di Inggris dalam perpercakapan di restauran suara partisipan direndahkan sehingga orang-orang yang tidak terlibat percakapan itu tidak akan bisa mendengar apa yang dicakapkan.
Seorang mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga asrama, warga suku, warga bangsa, dan seterusnya. Tiap komunitas mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam hal-hal tertentu juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu termasuk hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau lebih komunitas tutur yang sama sekali berbeda. Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan komunitas yang melibatkan tutumya, dengan menambah mengurangi, dan mengganti kaidah perilaku komunikatif Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat tentang komunitas tutur.
Hudson (1980) berpendapat bahwa istilah komunitas tutur mengacu kepada “komunitas yang berdasarkan bahasa”, yang sering dikacaukan dengan istilah komunitas bahasa (linguistic community).
John Lyons (1970) mengemukakan bahwa (1970), Speech community is all the people who use a given language (or dialect).” (komunitas tutur adalah semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu).
Perbedaan mendasar antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dalam hal komunikasi lisan, turut membangun kaidah-kaidah bahasa. Selain itu, prinsip dasar etnografi komunikasi juga memerikan perbedaan aturan berbicara (rule of speaking), misalnya kapan harus berbicara dan kapan harus diam (lih. Fasold, 1990: 40). Rules of speaking is "The ways in which speakers associate particular modes of speaking, topics or message forms, with particular settings and activities" (Gumperz 1972: 36). Aturan berbicara ini bisa sangat berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.

Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur
Situasi tutur berkaitan dengan keadaan yang sedang berlangsung pada saat proses tutur terjadi. Tuturan pada situasi resmi akan berbeda dengan situasi tidak resmi. Perbedaan yang terlihat, mungkin dari segi kebahasaan baik itu gaya bahasa, pilihan kata, dan hal-hal lain yang mendukung pembicaraan pada situasi tersebut. Ini juga dilihat dari siapa yang menjadi pendengar atau audiens atau lawan bicara pada pembicaraan itu. Gaya bahasa dan diksi yang dipakai biasanya dibedakan berdasarkan jenjang pendidikan lawan bicara. Jadi, situasi tutur adalah keadaan yang dikaitkan dengan tuturan, misalnya upacara, pertengkaran, percintaan, dan sebagainya.
Ibrahim (2004:267) mengemukakan bahwa situasi tutur diartikan sebagai konteks terjadinya komunikasi. Konteks situasi tutur misalnya adalah upacara, perburuan, makan-makan, lelang, kelas di sekolah, dan sebagainya. Situasi tutur tidak selalu komunikatif: situasi tersebut mungkin terdiri dari peristiwa yang komunikatif dan perstiwa yang lain.
Peristiwa tutur terjadi dalam situasi tutur dan terdiri dari satu tindak tutur atau lebih (Sumarsono, 2002:320). Misalnya sebuah contoh yang dapat menjelaskan kehadiran situasi tutur, peristiwa tutur da tindak tutur adalah sebuah pesta, seperti pesta perkawinan, atau pesta ulang tahun. Dalam pesta (sebagai situasi tutur) terjadi percakapan selama pesta berlangsung dengan siapa saja, topik apa saja, barangkali juga terdapat lelucon di dalamnya (peristiwa tutur).
Adapun tindak tutur adalah kalimat atau pernyataan yang dinyatakan untuk mewadahi maksud dan tujuan tuturan. Kajian terhadap tindak tutur banyak ditelaah dibandingkan dengan dua konsep lain yang membangun etnografi komunikasi. Ketika bertutur, maka seseorang akan memberi saran, berjanji, mengundang, meminta, melarang, dan sebagainya. Dengan demikian, tuturan membentuk tindakan, bahkan tuturan sendiri adalah sebuah tindakan. Ujaran yang membentuk tindakan disebut dengan ujaran performatif, ‘Saya akan datang lebih awal’, merupakan kalimat deklaratif yang menyatakan sebuah janji atau berjanji untuk datang lebih awal. Sebaliknya, kalimat yang sebatas pada memberitakan disebut dengan ujaran konstatif.

Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa, dan tindak tutur masih ada konsep lain yang cukup penting, yaitu komponen tutur. Komponen tutur, meliputi kepanjangan dari kata SPEAKING yang dijelaskan berikut ini.
  1. S = Situation (situasi), mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Sedangkan suasana akan berkaitan dengan suasana psikologis, misalnya situasi formal atau santai
  2. P = Participan (patisipan) mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tetapi juga adressor (juru bicara) yang terkadang yang diwakili tidak berada di tempat. dan audience. (pendengar)
  3. E = End (tujuan), mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing partisipan (goals)
  4. A = Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan).
  5. K = Key (kunci) , yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan, misalnya serius, khidmat, lucu, sinis, dan sebagainya.
  6. I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan bentuk tutur (misalnya mengacu pada bahasa, dialek, kode, dan sebagainya)
  7. N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi. Misalnya bagaimana orang Jawa selalu mematuhi sopan santun sebagai norma interaksi, meskipun hanya tuturan fatis
  8. G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai, misalnya puisi, khutbah, lawak, perkuliahan, dan sebagainya.
Menurut Hymes, ada 16 komponen tutur, diantaranya sebagai berikut:
  1. Bentuk pesan, menyangkut cara bagaimana sesuatu itu (topik) dikatakan atau diberitakan. Dapat kita simpulkan, bahwa bentuk pesan bertalian dengan rupa atau wujut pesan. Misalnya, dalam bentuk lisan, tulisan, lambang-lambang konvensional, dan lain-lain.
  2. Isi pesan, berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik dan perubahan topik. Untuk membedakan bentuk pesan dan isi pesan, lihatlah contoh kalimat langsung dan tak langsung berikut ini: “Dia berharap, mudah-mudahan lulus dalam Ujian Tengah Semester ini,” kata Aris. Kalimat tersebut dapat dinilai bahwa si Aris hanya melaporkan isi pesan saja. Tetapi, seandainya si Aris berkata: “Dia berharap, mudah-mudahan Saya lulus dalam Ujian Tengah Semester!,” berarti si Aris melaporkan isi pesan sekaligus mengutip bentuk pesannya yaitu tentang dia yang berharap dan bentuk pesan ‘Mudah-mudahan lulus Ujian Tengah Semester!’. Isi pesannya adalah apa harapannya itu, sementara bentuk pesannya adalah bagaimana dia berharap.
  3. Latar (setting), berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya tindak tutur.
  4. Suasana (scene), mengacu kepada “latar psikologis” atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasan tertentu. Misalnya, ketika si Aris berbicara dengan temannya yang sama-sama berasal dari NTT mungkin akan mengubah suasana, dari formal menjadi informal, dari serius menjadi santai.
  5. Penutur (speaker, sender)
  6. Pengirim (addressor)
  7. Pendengar (hearer, receiver, audience)
  8. Penerima (addressee).
  9. Maksud hasil (purpose-outcome)
  10. Maksud tujuan (purpose-goal)
  11. Kunci (key), bertalian dengan cara, nada, atau semangat tindak tutur dilakukan. Tidak tutur bisa berbeda karena kunci, misalnya antara serius dan santai, hormat dan tak hormat, sederhana, dan angkuh/sombong.
  12. Saluran (channel) mengacu kepada medium penyampaian tutur: lisan, tertulis, telegram, telepon. Dalam hal saluran, orang harus membedakan cara menggunakannya. Saluran lisan (oral) misalnya dipakai untuk bernyanyi, bersenandung, bersiul, mengujarkan tutur. Ragam lisan untuk tatap muka berbeda dengan telepon. Ragam tulis telegram berbeda dengan ragam tuliss surat.
  13. Bentuk tutur (form of speech),
  14. Norma interaksi (norm of interaction)
  15. Norma interpretasi (norm of interpretation)
  16. Genre
Nilai di Balik Tutur
Dibalik tutur ada nilai-nilai sosial-budaya. Artinya, dengan melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang, kita dapat menentukan atau setidak-tidaknya menerka dapat mengidentifikasi “siapa”orang itu, dari kelompok mana dia, makna sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup, dan sebagainya.

REFERENSI
Chaer. Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Hudson, R.A., 1980. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.
Hymes, Dell. 1974. Foundation of Sociolinguistics. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1994. Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional.
Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran.
Lyons, J., 1970. New Horizons in Linguistics. Harmondsworth, Middlesex: Penguin.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijaya, I Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

==========
Oleh:
ariesrutung95

2 komentar

Anda mengutip pendapat Hymes dalam Alwasilah yang mengatakan bahwa bukan bahasanya yang menjadi fokus tapi komunikasinya, begitu kurang lebih. Pertanyaan saya kemudian adalah:
1. Bisakah komunikasi berjalan tanpa bahasa dalam konteks SPEAKNG?
2. Dari referensi yang saya dapatkan Hymes adalah sociolinguist bukan pakar komunikasi.

Reply

1. Bahasa merupakan kunci dalam konteks SPEAKING. Kendati variabel yang lain tersedia tetapi bahasanya tidak ada, tidak mungkin terjadi komunikasi.
2. Coba cari bukunya Sumarsono tentang Sosiolinguistik. Di sana lumayan banyak mengulas pemikiran Dell Hymes, termasuk tentang Etnografi.

Reply

Post a Comment

Jangan lupa tinggalkan komentar. Kritiklah sesuka Anda!

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA