Laras gelisah, ia takut Bagas akan datang ke kantin,
dan melihatnya bersama Giga. Ya, bagaimanapun Giga adalah sahabat Bagas juga.
Meski gara-gara ia mengalihkan perhatian dan
menyintai Giga, Bagas kemudian menjauh. Bahkan ia menjadi lelaki paling dingin
yang pernah dikenalnya. Lelaki pemurung yang beku hatinya.
“Ada
yang membuatmu gelisah?”
Tanya Giga yang
melihat galau di wajah Laras. Tentu saja ia maklum, tiga tahun mereka tak
bertemu. Tiga tahun tentu telah mengubah
banyak hal. Mungkin juga perasaan mantan kekasihnya ini. Giga maklum.
“Laras?”
“Ya?”
“Ada yang membuatmu gelisah?”
“Ya.....”
“Seseorang?”
“Ya.....”
“Pasti sangat berarti bagimu”
“Ya….”
“Baiklah, aku akan
bicara sepuluh menit saja.
Setelah itu aku
akan
pergi dan melupakannmu. Meski selama tiga tahun lebih ini aku tak bisa melupakanmu”
“Dusta, meninggalkan seorang gadis begitu saja tanpa
pesan, itukah yang kau sebut tak bisa lupa? Bohong!”
“Sabar Laras, dengar dulu. Aku tak mungkin
memberitahumu, tak bisa”
“Kenapa?”
“Karena kau tak bisa menerima semua itu. Kau orang tak
mudah menerima sesuatu, aku tahu. Tapi ada musibah yang menimpaku. Dan aku baru
saja bebas, dua hari lalu, kemudian kesini, menemuimu sebelum semuanya
terlambat dan kamu benar-benar melupakanku.”
“Apa maksudmu?”
“Aku baru saja menjalani hukuman tiga tahun enam bulan.
Aku bebas lebih cepat tiap bulan, karena aku mendapatkan remisi tiap tahunnya.”
“Kau omong kosong apalagi?
“Ketika hari raya aku pulang kampung. Ini bukan omong
kosong, ini kisah nyata. Aku tak pernah bisa berdusta padamu. Kau mengenalku
dengan baik. Kalau kau bilang dusta, kau sudah tak mengenalku lagi,
meski aku masih Giga yang dulu.”
“Kisah apa?”
“Mobilku menabrak seorang pengendara sepeda motor
hingga tewas. Daripada digebugi massa, aku masuk ke kantor polisi minta
perlindungan. Aku tak lagi bisa menjelaskanmu, mengapa aku tak bisa menemuimu,
bahkan seperti menghilang. Sementara, kau enggan datang ke kotaku, apalagi
menjengukku dalam penjara.”
“Ah, benarkah? Apakah ini bukan dongeng sedih yang
sengaja kau buat?”
“Buat apa aku membuat dongeng
untukmu, sementara aku tak berharap
apapun darimu. Bahkan aku tak berharap kau memaafkan aku. Aku datang dari jauh, hanya untuk menyampaikan bahwa aku mengalami
musibah, dan selama aku menderita, kau tak pernah mau menjengukku. Jangankan
menjenguk, aku yakin kau bahkan lebih suka memilih pacar baru.”
“Aku tak tahu…..”
“Benarkah? Peristiwa itu masuk berita kurasa. Tapi
entahlah, mungkin saja kau tak tahu, daripada kau tahu, kemudian segan
menjengukku.”
“Jadi…..”
“Dimanakah kau ketika aku membutuhkan dirimu, ketika
aku butuh kau memberikan kekuatan……..?”
“Aku tak tahu, itu persoalannya. Dan selama kau
menghilang, aku tak mengerti mengapa kau meninggalkanku begitu saja. Bahkan
kabar darimu juga aku tak bisa dapatkan. Setelah itu ada yang dekat denganku.
Namun tak ada yang membuatku jatuh cinta, hingga tiga tahun lebih lamanya. Lalu
ketika satu bulan terakhir ini aku memutuskan menyintai seseorang, bukan karena
aku putus asa, tetapi karena aku memang jatuh cinta pada lelaki itu.”
“Oh, ya?”
“Dan aku tak perlu menutupinya darimu, bahwa lelaki
itu ternyata menyintaiku. Puaskah mendengar jawabanmu. Itu berarti sebetulnya
tak ada penghianatan apapun. Tapi harus kau tahu, kedatanganmu kini mengacaukan semuanya.”
“Mengapa?”
“Setidaknya aku menjadi bimbang untuk melanjutkan
cintaku pada yang lain.”
“Tapi kau sudah tak menyintaiku lagi.”
“Memang.”
“Ya, lupakan saja diriku.”
“Lalu buat apa kau temui aku?”
“Aku hanya rindu saja. Ok, yang penting aku sudah
sampaikan kebenaran masa laluku. Aku juga tak berharap kembali padamu. Aku
realistis saja. Dengan keadaanku ini tak mungkin kau akan kembali padaku.
Selamat berburu cinta Laras.”
“Ah, kau mau kemana?”
“Cari Kerja, baru lanjutkan kuliah lagi.”
Giga meninggalkan Laras dengan gontai. Membawa kelu di
hati. Sementara Laras menarik nafas panjang. Menatap lelaki muda itu dengan
perasaan sedih. Maafkan aku, Giga. Aku bukannya tak pernah mendengar kau masuk
penjara. Tetapi memang dunia kita sudah berbeda. Aku tak mau menikah dengan
lelaki mantan Napi. Maafkan aku.
Laras kemudian gontai
melangkah. Hatinya sunyi. Tiba-tiba ia sadar, bahwa ia kehilangan Bagas. O,
kemana perginya?
Rasa sunyi itu membuat Laras berlinang. Bagas, jika
lelaki sebaik engkau tak bisa kurengkuh, lalu lelaki seperti apa yang harus kucintai? Haruskah aku kembali kepada Giga yang sudah
seharusnya aku lupakan?
Angin semilir bertiup. Menggeriapkan rambut Giga yang
melintas di taman kampus yang hening. Mentari panas menyengat kulit. Dan kampus
mulai terasa sunyi.
****
Senja yang indah. Mobil Bagas sudah menembus kota Temanggung.
Lalu meluncur ke arah Secang, setelah melewati Weleri dan Sukorejo. Mereka
menuju sebuah kawasan di Bukit Tidar, sebelah selatan terminal.
Sebuah rumah suram tertutup pintunya.
Lama Bagas menatap rumah yang seperti tanpa penghuni itu. Lama hatinya kecewa, karena ia tak menemukan
sambutan hangat dari kakaknya. Atau dari anak yang dilahirkannya. Kemana
gerangan sang kakak?”
Rumah yang jauh dari keramaian itu sendiri, seperti
menyimpan kesuraman. Tanpa tetangga, tanpa sentuhan perawatan sehingga semak
belukar tumbuh disana.
“Kok sunyi? Kemana
kakakmu?” Tanya Rusman yang kebenaran melihat itu dalam keterasingan dan liar
serta kumuh.
“Entahlah…..”
Dari jauh, seorang pengendara sepeda motor
menghentikan laju kendaraannya tiba-tiba. Pengendara itu membuka helmnya.
“Bagas? Benarkah itu
kau?” Cowok itu menatap Bagas terheran-heran. Begitu juga dengan Bagas.
“Jamal?”
“Ya, aku Jamal Subhan, sahabatmu”
“Tahukan kau, mengapa rumah ini seperti tak terawat,
Jam?”
“Sebaiknya ke rumahku dulu, yuk, nanti aku ceritakan.
Rumah itu sudah dijual oleh suami kakamu.”
“Ha, benarkah?”
“Iya, banyak kejadian yang menimpa keluarga kakakmu.
Ayo ke rumahku. Malam ini kau jadi tamuku saja. Besok pagi kita ke Jatiroto…….”
“Jatiroto?”
“Mereka tinggal di sana. Namun berita suram aku
dengar, hanya saja aku tak bisa mencampuri urusan rumah tangga mereka. Ayolah
ke rumahku. Sebentar lagi maghrib. Besok pagi kita ke Candiroto…….”
“Aku tadi lewat sana.”
“Dari Jakarta?”
“Iya…..”
“Ya, sudah, sholat maghrib di tempatku aja. Bagaimanapun aku tetap teman kamu.”
“Baiklah, yuk……..”
“Rumah itu sudah bukan milikmu lagi. Rencananya akan
dibuat kantor, Karena dijual kepada
seorang pengusaha.”
“Pantas rumah itu seperti hancur.”
“Bukan hancur lagi, tiga tahun ini sudah menjadi rumah
hantu. Banyak yang takut lewat di sana.”
Hati Bagas berdesir. Lima tahun ia tak pulang. Lima
tahun ia tak menjenguk kakaknya. Ternyata lima tahun telah mengubah rumah damai
menjadi sebuah rumah hantu yang sunyi,
senyap, terasing.
Bagas kemudian masuk ke dalam mobilnya, mengikuti
rumah Jamal. Teman di SMU dulu, yang sebetulnya, Bagas pun nyaris lupa dengan
teman satu kelas itu.
“Kau tak pernah menjenguk kakakmu?”
Tanya Rusman yang sebetulnya tahu bahwa keluarga Bagas
memang sudah tiada. Saat itu jam di tangan Bagas menunjukkan pukul lima lebih
tiga puluh menit.
Mereka akhirnya meninggalkan rumah kenangan yang kini
menyisakan rasa getir dan pahit di hati
Bagas. Rumah kenangan itu menjadi rumah terasing, kumuh dan membiaskan
kesuraman.
Post a Comment
Jangan lupa tinggalkan komentar. Kritiklah sesuka Anda!