Kekeliruan epistemologi dapat diartikan sebagai ketidakpahaman seseorang dalam memaknai sesuatu. Hal ini tentu saja berkelindan dengan ilmu pengetahuan. Kekeliruan epistemologi secara leksikal merupakan kekeliruan pengetahuan. Artinya, pengetahuan yang didapatnya atau yang diucapkannnnya bertentangan dengan yang lazim dan benar. Kekeliruan epistemologi memiliki hubungan erat dengan kesalahan dan kekeliruan berbahasa. Pengetahuan berbahasa yang salah, jika dibiarkan akan terjadi salah kaprah. Di sisi hal ini, kekeliruan semacam ini sangat sulit diatasi karena si pembicara atau penulis tidak cukup memahami apa yang diucapkan dan/atau ditulisnya. Ia hanya akan berpedoman pada kelaziman sebuah terhadap penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia kepenulisan, seoranag penulis yang tak mampu memahami asas penulisan yang jelas dan efektif, maka penulis tersebut tidak mampu menghadirkan efek perlokutif terhadap pembacanya, kendati menggunakan bahasa yang menurutnya sangat mudah dipahami. Perlokusi merupakan upaya seorang penulis agar apa yang ditulisnya menimbulkan respon tertentu terhadap pembacanya (Wahyu wibowo, 2012). Ketidakpandaian seorang penulis dalam merangkai kalimat akibat kuranngya penguasaan terhadap kaidah bahasa tulis dapat menyebabkan si penulis sering melakukan kekeliruan epistemologi.
Segala bentuk tulisan yang terdengar intelek dan hebat namun hampa makna, kerap kali kita dengar dari orang-orang atau buku-buku yang mengabaikan efek perlokutif. Oleh karena itu, refleksi yang cermat (hati-hati, jeli, akurat, saksama, telaten, pasti, teliti) perlu kiranya dilakukan dan/atau dimiliki seorang penulis sebelum memulai menulis apalagi memublikasikan tulisannya. Seorang penulis yang baik tidak saja memperhatikan jenis bahasa yang dipakai, tetapi juga perlu kiranya memikirkan hal-hal yang akan didapat oleh pembaca setelah membaca tulisannya. Niat pembaca diselubungkan melalui tulisannya dan dalam waktu yang sama, seorang pembaca setidak-tidaknya diedukasi oleh tulisan-tulisan yang ia baca. Dengan perkataan lain, tulisan paling sederhana dengan bahasa biasa pun harus mampu mendidik masyarakat pembacanya, terutama berkelindan dengan bahasa tulis yang didalamnya memuat pilihan kata, aturan penulisan, ketepatan ejaan, dan penempatan kata depan dan awalan yang tepat.
Dari sedikit persoalan di atas, penulis memiliki tanggung jawab secara tidak langsung, yakni mendidik pembacanya dan memberikan hal-hal yang baru yang mungkin belum banyak diketahui oleh pembacanya. Tugas penulis bukan mengikuti apa yang diinginkan oleh masyarakatnya (dibaca: pembaca/penikmat), tetapi dengan pengetahuan yang cukup, ia harus mampu membahasankan apa yang diketahuinya, meskipun bertentangan dengan pengetahuan orang banyak.
Pengetahuan itu harus merupakan sebuah kebenaran ilmiah dan bukan akal sehat. Dikatakan demikian karena acap kali akal sehat mengikuti atau menyesuaikan posisi dan keadaan di mana seorang penulis berada. Dengan perkataan lain, akal sehat mampu dicmpuri oleh oleh kepentingan. Akan tetapi, kebenaran ilmiah tidak mungkin demikian. Sebab, kebenaran ilmiah dilandaskan dari proses penelitian yang dilakukan secara prosedural, metodis, dan berdasarkan norma akaedmis. Di sisi hal ini, kebenaran ilmiah tidak mungkin terjadi kekeliruan epistemologi karena dilakukan dengan menggunakan metodologi. Kebenaran ilmiah dimungkinkan salah bila ada penelitian lain yang mampu membantah kebenarannya dan/atau menggungurkannya.
Referensi:
Wibowo, Wahyu. 2012. Tata Permainan Bahasa Dalam Karya Tulis Ilmiah.
==========
Author:
ariesrutung95
Post a Comment
Jangan lupa tinggalkan komentar. Kritiklah sesuka Anda!