Dahulu kala di sebuah kampung, Wae Wene, hiduplah beberapa warga yang bekerja sebagai nelayan. Pada suatu hari, ada seorang nelayan menyusuri sungai untuk memancing. Ketika ia sedang menunggu ikan memakan umpan pancingannya, tiba-tiba seekor belut pendek (dalam bahasa Manggarai disebut Tuna tompok) menyambar umpannya. Seketika itu juga sang nelayan langsung menarik pancingannya dan menangkap belut tersebut. Betapa kagetnya ia melihat belut yang ditangkapnya itu karena sangat besar (kira-kira seukuran paha orang dewasa). Karena tubuh belut yang licin dan ukurannya yang terlalu berat, sang nelayan mengalami nasib sial, belut itu terlepas dari genggamannya. Karena hari sudah sore, sang nelayan pulang tanpa seekor pun ikan yang berhasil ditangkap.
Sesampainya di rumah, sang nelayan menceritakan belut yang hampir ditanggkapnya kepada beberapa tetangga terdekat. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk menangkap belut tersebut. Keesokan harinya, pagi-pagi benar, sang nelayan bersama dua warga lainnya beranjak menuju kali. Sesampainya di kali, ketiganya langsung menurunkan tali pancing masing-masing. Tiba-tiba belut menyambar pancingan mereka. Tetapi, belut yang tertangkap bukanlah belut seperti yang diceritakan. Karena tidak sesuai, belut yang mereka tangkap dilepaskan kembali.
“Bukan ini yang kami cari,” kata salah seorang pemancing.
Hari sudah hampir sore, tetapi belut yang diidamkan belum juga tertangkap. Karena sudah mulai lelah, ketiganya memutuskan untuk bermalam di atas perahu kecil alias sampan. Sambil menunggu belut menyambar umpan mereka, mereka bercerita di atas perahu. Beberapa menit kemudian, ketika mereka sedang asyik bercerita, tiba-tiba pancingan salah seorang nelayan disambar-tarik. Rupayanya, itu adalah belut yang mereka cari. Dua orang nelayan lainnya ikut memantu menangkap belut tersebut. Benar saja, belut yang mereka cari berhasil ditangkap. Karena terlalu senang, tanpa pikir panjang mereka menepi ke daratan untuk mencari tempat peristirahatan sekaligus membuat perapian untuk memasak belut itu.
Setelah matahari sudah terbit, mereka bersiap-siap untuk pulang. Belut yang ditangkap kemudian dipotong-potong dan dibagi-bagi, sebagian lainnya dijadikan sarapan pagi. Beberapa menit setelah memakan daging belut tersebut, ketiga orang itu menjadi mabuk. Menurut adat orang Manggarai, belut yang memiliki ciri-ciri fisik pendek dan besar merupakan penjaga sungai. Jadi, belut yang berhasil mereka tangkap tersebut merupakan penjaga sungai tempat mereka memancing. Adalah hal yang sangat pantang jika siapa saja membunuh belut tersebut dan pasti akan menuai karma.
Karena sudah mabuk, mereka memutuskan untuk pulang. Daging-daging belut itu berubah menjadi keris. Di atas perahu, ketiga nelayan tersebut berencana pergi ke Bima, salah satu wilayah yang penghuninya pernah menyerang dan menguasai hampir seluruh wilayah Manggarai. Tujuan mereka ke bima adalah untuk membalas dendam (perang). Sesampainya di Bima, yang menurut pikiran ketiga nelayan tersebut adalah Bima, tertapi ternyata adalah kampung tempat mereka tinnggal.
Karena sudah marah, ketiganya langsung turun dari perahu dan membunuh semua warga yang ada di kampung itu. Anak dan istri mereka ikut terbunuh. Melihat kejadian itu, seorang perempuan hamil melarikan diri dan bersembunyi di bawah rumah kerang yang berukuran sangat besar (cukup untuk menutupi tubuhnya). Setelah semua terbunuh, ketiga nelayan itu baru sadar dan betapa kagetnya mereka melihat anak dan istrinya sudah dibunuh. Karena kecewa, ketiganya memutuskan untuk saling menikam. Begitulah, ketiganya juga ikut mati di kampung itu.
Setelah merasa tak lagi terdengar suara, perempuan hamil yang bersembunyi di dalam kerang pelan-pelan mendorong rumah kerang itu dan melarikan diri. Dalam pelarian itu, perempuan hamil tersebut akhirnya mendiami salah satu wilayah di Manggarai (yang hari ini termasuk ke dalam kabupaten Manggarai Barat) yakni Nangalili. Dari perempuan tersebutlah cikal-bakal manusia-manusia penghuni Nangalili.
Hari ini, kerang yang dijadikan rumah persembunyian perempuan hamil tersebut masih ada dan oleh warga setempat dijadikan bahan baku pembuat kapur untuk sirih-pinang, tetapi oleh warga setempat kemudian dijaga. Mereka membuat akses menuju bukit tempat di mana kerang itu berada dengan membangung tangga menuju bukit.
===========
Author:
ariesrutung95
Sesampainya di rumah, sang nelayan menceritakan belut yang hampir ditanggkapnya kepada beberapa tetangga terdekat. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk menangkap belut tersebut. Keesokan harinya, pagi-pagi benar, sang nelayan bersama dua warga lainnya beranjak menuju kali. Sesampainya di kali, ketiganya langsung menurunkan tali pancing masing-masing. Tiba-tiba belut menyambar pancingan mereka. Tetapi, belut yang tertangkap bukanlah belut seperti yang diceritakan. Karena tidak sesuai, belut yang mereka tangkap dilepaskan kembali.
“Bukan ini yang kami cari,” kata salah seorang pemancing.
Hari sudah hampir sore, tetapi belut yang diidamkan belum juga tertangkap. Karena sudah mulai lelah, ketiganya memutuskan untuk bermalam di atas perahu kecil alias sampan. Sambil menunggu belut menyambar umpan mereka, mereka bercerita di atas perahu. Beberapa menit kemudian, ketika mereka sedang asyik bercerita, tiba-tiba pancingan salah seorang nelayan disambar-tarik. Rupayanya, itu adalah belut yang mereka cari. Dua orang nelayan lainnya ikut memantu menangkap belut tersebut. Benar saja, belut yang mereka cari berhasil ditangkap. Karena terlalu senang, tanpa pikir panjang mereka menepi ke daratan untuk mencari tempat peristirahatan sekaligus membuat perapian untuk memasak belut itu.
Setelah matahari sudah terbit, mereka bersiap-siap untuk pulang. Belut yang ditangkap kemudian dipotong-potong dan dibagi-bagi, sebagian lainnya dijadikan sarapan pagi. Beberapa menit setelah memakan daging belut tersebut, ketiga orang itu menjadi mabuk. Menurut adat orang Manggarai, belut yang memiliki ciri-ciri fisik pendek dan besar merupakan penjaga sungai. Jadi, belut yang berhasil mereka tangkap tersebut merupakan penjaga sungai tempat mereka memancing. Adalah hal yang sangat pantang jika siapa saja membunuh belut tersebut dan pasti akan menuai karma.
Karena sudah mabuk, mereka memutuskan untuk pulang. Daging-daging belut itu berubah menjadi keris. Di atas perahu, ketiga nelayan tersebut berencana pergi ke Bima, salah satu wilayah yang penghuninya pernah menyerang dan menguasai hampir seluruh wilayah Manggarai. Tujuan mereka ke bima adalah untuk membalas dendam (perang). Sesampainya di Bima, yang menurut pikiran ketiga nelayan tersebut adalah Bima, tertapi ternyata adalah kampung tempat mereka tinnggal.
Karena sudah marah, ketiganya langsung turun dari perahu dan membunuh semua warga yang ada di kampung itu. Anak dan istri mereka ikut terbunuh. Melihat kejadian itu, seorang perempuan hamil melarikan diri dan bersembunyi di bawah rumah kerang yang berukuran sangat besar (cukup untuk menutupi tubuhnya). Setelah semua terbunuh, ketiga nelayan itu baru sadar dan betapa kagetnya mereka melihat anak dan istrinya sudah dibunuh. Karena kecewa, ketiganya memutuskan untuk saling menikam. Begitulah, ketiganya juga ikut mati di kampung itu.
Setelah merasa tak lagi terdengar suara, perempuan hamil yang bersembunyi di dalam kerang pelan-pelan mendorong rumah kerang itu dan melarikan diri. Dalam pelarian itu, perempuan hamil tersebut akhirnya mendiami salah satu wilayah di Manggarai (yang hari ini termasuk ke dalam kabupaten Manggarai Barat) yakni Nangalili. Dari perempuan tersebutlah cikal-bakal manusia-manusia penghuni Nangalili.
Hari ini, kerang yang dijadikan rumah persembunyian perempuan hamil tersebut masih ada dan oleh warga setempat dijadikan bahan baku pembuat kapur untuk sirih-pinang, tetapi oleh warga setempat kemudian dijaga. Mereka membuat akses menuju bukit tempat di mana kerang itu berada dengan membangung tangga menuju bukit.
===========
Author:
ariesrutung95