Tata cara bertutur masyarakat pedesaan dalam kebudayaan Manggarai | Anak Pantai

Tata cara bertutur masyarakat pedesaan dalam kebudayaan Manggarai

Etnografi komunikasi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, dan/atau bahasa. Etnografi hampir sama dengan etnologi, yaitu ilmu tentang unsur atau masalah kebudayaan suku bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh dunia secara komparatif dengan tujuan mendapat pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi.


TATA CARA BERTUTUR MASYARAKAT PEDESAAN DALAM KEBUDAYAAN MANGGARAI: SEBUAH KAJIAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI


Siprianus Aris
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNIPA ~ Manokwari
Pos-el: ariessipriano@gmail.com


Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan masyarakatnya yang pluralistik, mempunyai berbagai bentuk dan variasi budaya. Bangsa Indonesia memiliki pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran dan sejarah kebudayaanya yang khas, di mana dalam bertutur antar sesamanya dalam kehidupan sehari-hari menggunakan aturan-aturan yang sama-sama sudah disepakati. Aturan-aturan itu menjadi ciri yang khas bagi bangsa indonesia secara umum dan kehidupan berbudaya secara khusus. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai tumpukan pengalaman budaya dan pembangunan budaya yang terdiri dari lapisan-lapisan budaya yang terbentuk sepanjang sejarahnya (Edi Setyawati, 2006:315, 317).

Satu dari sekian banyak budaya di Indonesia yang menarik perhatian untuk diteliti dan diperbincangkan adalah kebudayaan masyarakat Manggarai dalam hal bertutur. Orang Manggarai memegang erat sopan santun dalam hal berkomunikasi baik dengan sesama yang sudah lama saling mengenal maupun orang yang baru dikenal. Sehingga tidak salah, jika Nusa Tenggara Timur yang menaungi masyarakat NTT yang juga salah satunya adalah orang Manggarai, dikenal dengan provinsi bertoleransi tinggi. Tentu ada latar belakang mengapa gelar itu disematkan. Salah satu faktor yang ikut membangun tolerasi tersebut adalah tata cara bertutur yang dimiliki oleh orang Manggarai.

ariesrutung.com
Artikel ini difokuskan pada cara bertutur masyarakat pedesaan yang ada di Kabupaten Manggarai, Povinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuannya yakni untuk meneliti tata cara bertutur atau tindak tuturnya sebagai bagian dari etnografi komunikasi. Dengan demikian, fokus penelitian bukan hanya pada bahasa yang dipakai tetapi juga adat-istiadat mereka. Dalam kebudayaan Manggarai terutama masyarakat pedesaan, berkomunikasi merupakan hal yang utama dalam menjalin hubungan sebagai ikatan kehidupan bermasyarakat. Dalam berkomunikasi dengan sesamanya, terdapat aturan-aturan yang setidaknya disepakati dan diakui serta dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Kabupaten Manggarai. Aturan-aturan itu bahkan diteruskan dan diwarisan kepada anak-cucu mereka, sebab mereka sudah sangat mengenal adat istiadat. Berikut beberapa tata cara bertutur atau tindak tutur yang disepakati dan diakui keberadaanya oleh masyarakat pedesaan di Kabupaten Manggarai.

Tata cara bertutur yang pertama yaitu (benta) memanggil. Memanggil orang tua mempunyai cara yang berbeda ketika seorang anak memanggil temannya dan/atau memanggil kakaknya. Cara memanggil orang tua tidak boleh dari kejauhan dan berteriak menyebutkan nama orang yang dipanggil. Hal itu sangat tidak sopan bagi seorang anak. Seharusnya adalah dekati orang yang mau dipanggil dan mulai berbicara. Hal lain yang harus diikuti dalam memanggil antara lain: 1) Tidak boleh menyebut nama (apalagi nama marga) jika yang dipanggil adalah orang tua. Untuk seorang adik ke kakaknya diperbolehkan, asal dengan “ngahang/ ngasang serani” atau nama panggilan. 2) Seorang anak tidak boleh mencolek orang tuanya sebagai isyarat untuk memanggil.

Kedua, menjawab panggilan dengan kata “io” dan “oe.” Orang Manggarai mengenal dua jawaban untuk menjawab sebuah panggilan secara langsung. Ada jawaban “io” dan ada juga jawaban “oe” yang keduanya mempunyai arti yang sama yaitu ya. Kata “io” dianggap lebih halus dan lebih sopan dari “oe”. Oleh karena itu, penggunaanya lebih cendrung ketika seorang anak menjawab panggilan orang tuanya atau mereka yang berpaut usia hingga belasan tahun. Ada makna kerendahan hati dan rasa sayang di balik kata “io”. Apalagi jika yang menjawab adalah orang tua kepada anaknya. Sedangkan kata “oe” dianggap lebih tidak sopan. Biasanya dipakai oleh orang tua untuk menjawab panggilan anaknya. Tersirat makna kesombongan, tinggi diri, ketidaksopanan, dan kedengkian dibalik kata itu. Pembicara yang memiliki usia yang lebih tinggi dari lawan bicaranya akan lebih sering juga memakai kata ini. Jadi, antara kata “io” dan “oe” terdapat perbedaan nilai dan kegunaanya.
Ketiga, menyela pembicaraan. Ketika seseorang berbicara, aturan yang disepakati adalah memberikan waktu kepada si pembicara untuk menyelesaikan pembicaraanya. Akan tidak terpuji, jika seseorang sementara berbicara, tiba-tiba dipotong. Orang manggarai mengistilahkan ini sebagai “sio/cio tombo” atau mengencingi pembicaraan. Dalam memotong pembicaraan, sesorang harus terlebih dahulu mengucapkan  “neka rabo ...” yang artinya secara leksikon “jangan marah”, tetapi maknannya adalah memohon maaf sebelum berbicara atau memotong pembicaraan. Ketika si pembicara sudah mulai menghentikan kalimatnya, barulah lawan bicara atau orang yang meminta waktu untuk berbicara memulai pembicaraannya. 

Keempat, mendengar pembicaraan (senget tombo) dan gerak tubuh. Antara menyela pembicaraan dan mendengar pembicaraan adalah dua hal yang saling berkaitan. Seorang yang menjadi pendengar harus memperhatikan si pembicara, bahkan kontak mata antar keduanya tidak boleh berhenti selama pembicaraan berlangsung. Tidak boleh ada gerakan-gerakan lain selama pembicaraan berlangsung kecuali yang secara tidak sengaja (refleks). Karena selain mengganggu situasi pembicaraan, pembicara akan merasa tidak dihargai dan menganggap apa yang dibicarakan bukanlah hal yang penting. Oleh karena itu, kontak mata, gerakan anggotan tubuh, dan gerakan-gerakan lain yang menunjang berhasilnya penyampaian  informasi dalam hal bertutur dalam kebudayaan masyarakat Manggarai sangatlah penting.
Kelima, mengakhiri pembicaraan. Jika salah satu dari partisipan baik pembicara maupun pendengar merasa bosan dengan topik pembicaraan, maka ia akan mengeluarkan kalimat “neka rabo” kemudian dilanjutkan dengan apa maksud selanjutnya dari pembicara tersebut. Si pendengar akan memahami maksud dari si pembicara. Dengan demikian, berakhirlah pembicaraan antara keduanya. Dalam penggunan bahasa pun masyarakat Manggarai pedesaan sangat memperhatikan persoalan pelafalan kata. Memang tidak semua kata dituturkan dengan halus, tepai sedapat mungkin tidak menyakiti pendengar atau lawan bicaranya, sehingga orang yang diajak bicara dapat lebih nyaman dan lama dalam berbincang-bincang.

Tata cara bertutur yang terakhir yaitu melayani tamu (tiba meka). Orang yang hendak bertandang/bertamu atau ketemua di tengah jalan selalu memberikan salam terlebih  dahulu dengan kata-kata “tabe o ite” setara artinya dengan ucapan permisi tetapi lebih spesifik kepada tuan/pemilik rumah atau orang yang ditemui. Si pemilik rumah akan menyahut dengan jawaban “mai ge ite” yang artinya mari, silakan masuk. Penggunaan kata ite pada kedua ucapan di atas mengacu kepada tuan rumah atau orang yang ditemui sebagai orang yang lebih dahulu dihormati dan tamu yang kemudian dihormati juga oleh pemilik rumah. Ketika tamunya sudah masuk, tuan rumah akan bilang “mai, see mai lose” atau mari duduk di atas tikar. Apabila permintaannya itu tidak diindahkan oleh si tamu, pemilik rumah akan merasa terhina bahkan merasa tidak dihormati. Selain itu, tanpa disuruh, tuan rumah akan membuatkan minuman berupa kopi dan disuguhkan kepada penamu. Siapapun tamu yang datang, orang baru atau keluarga sendiri, sudah menjadi kewajiban tuan rumah untuk melayani tamu. Sekalipun tujuan datangnya tamu hanya sekadar bebincang-bincang. Bagi masyarakat Manggarai tamu sangat dihargai keberadaanya. Sehingga dalam penyambutanya pun orang Manggarai sangat memperhatikan kedatanganya. Mulai dari cara mempersilakan masuk hingga caranya dalam menyuguhkan hidangan disaat tamu tersebut datang dan berkunjung. Bahkan ketika berkesempatan makan bersama, ata uwang api (istri atau ibu rumah tangga) bersama anak-anak dari tuan rumah dilarang makan bersama dengan tamu.

Orang Manggarai pada prinsipnya mempertahankan dan membawa diri sesuai dengan nilai budayanya. Prinsip hormat ini dapat disejajarkan dengan prinsip sopan-santun dalam pengertian yang luas, baik dalam bahasa maupun dalam pergaulan sehari-hari. Sopan-santun dalam prilaku orang Manggarai terutama masyarakat pedesaan menyangkut bagaimana kita bersikap dan bagaimana menerima dan memperlakukan orang lain. Oleh karena itu, tata cara bertutur yang adalah cerminan diri harus dinomorsatukan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Tata cara bertutur itu berkaitan dengan cara memanggil, menjawab panggilan dengan kata, menyela pembicaraan, mendengar pembicaraan dan gerak tubuh, mengakhiri pembicaraan, sampai kepada melayani orang lain. Slogan hidup dalam cara bertutur orang manggarai yang paling  umum dikenal adalah reis, ruis, raes artinya menyapa, mendekati, dan menemani.

Tradisi turun temurun ini tetap terjaga hingga saat ini. Akan tetapi, generasi penerus yaitu anak-anak muda Manggarai sekarang sudah banyak yang tidak lagi mengikuti adat-istiadat seperti yang dituturkan di atas. Bahkan, banyak yang tidak mngetahui bahasa yang digunakan orang jaman dahulu yang lebih sopan untuk menerima atau melayani orang lain. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang tata krama dan rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri luntur di tengah perkembangan zaman yang semakin kebarat-baratan. Generasi muda lebih cenderung mengikuti hal-hal yang bersifat trend dibanding dengan hal-hal yang diakui dalam kehidupan berbudaya karena diangga primitif dan kuno. Semoga saja, kita yang dibekali dengan pendidikan yang baik, bisa menghidupkan kembali adat-istiadat yang masih perlu untuk dilestarikan.

REFERENSI
Borgias F. M. 2012. Filsafat Sosial dan Filsafat Pendidikan Manggarai, dalam Martin Chen & Charles Suwendi (Eds.,) Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial: Refleksi Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai. Obor: Jakarta.
Janggur, P. 2010. Butir-butir Adat Manggarai. Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.
Kartawinata, Ade. M. 2011. Meretas Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi dan Tantangan Pelestarian dalam Nasruddin (2011). Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.
Mukese, D. J. 2012. Makna Hidup Orang Manggarai, dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (eds.,) Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial: Refleksi Yubileum 100 tahun Gereja Katolik Manggarai. Jakarta: Obor.
Pandor, P. 2015. Menyambut dan Memuliakan Sesama Dalam Ritus Tiba Meka Orang Manggarai, dalam Armada Riyanto, dkk. Kearifan Lokal Pancasila: Butir-butir Filsafat Keindonesiaan. Yogjakarta: Kanisius.


===========
Oleh:
ariesrutung95

Post a Comment

Jangan lupa tinggalkan komentar. Kritiklah sesuka Anda!

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA