Bagi keluarga orang Manggarai (terutama masyarakat pedesaan yang masih sangat kental dengan budaya-budaya leluhur mereka), melepaskan anak perempuan untuk menikah bukanlah hal yang dilakukan asal-asalan. Sebab, ini berkaitan dengan harkat dan martabat keluarga. Dikatakan demikian, karena anak perempuan yang dilepas akan menyatu dengan pihak keluarga laki-laki. Keluarga akan malu jika anak perempuan mereka tidak dapat bekerja, apalagi melakukan hal-hal/pekerjaan yang sangat fundamental dengan kehidupan perempuan.
Selain beberapa hal di atas, dalam kebudayaan Manggarai, perempuan merupakan ‘orang luar’ (ata pe’ang). Istilah ‘orang luar’ dimaknai sebagai pihak yang kawin-keluar dan menyatu dengan keluarga laki-laki (mertua). Meskipun pada beberapa kasus, perempuan diperbolehkan tinggal bersama dan/atau dekat dengan keluarganya atas dasar beberapa pertimbangan, diantaranya keinginan orang tua, perempuan tersebut tunggal (anak semata wayang), dan/atau menantu (laki-laki) diminta mengurusi dan membantu mertuanya. Orang-orang seperti ini dilabeli sebagai ata kaeng one (orang yang tinggal di dalam) lingkungan keluarga, sebagaimana hak yang diberikan pada laki-laki.
Pengakuan dan Penghargaan bagi Perempuan
Sebagai ata pe’ang (orang luar), perempuan Manggarai harus memiliki beberapa kemampuan berikut ini.
Kemampuan Menenun Lipa
Menenun lipa merupakan hal dasar yang dituntut bagi perempuan Manggarai. Lipa adalah sebutan untuk kain yang terdiri atas dua bentuk, yakni lipa songke dan lipa surak. Lipa songke merupakan kain yang ditenun dan disisipi motif dari benang sulam berwarna (bukan hitam), sedangkan lipa surak adalah kain yang ditenun dan tidak bermotif. Lipa surak biasanya menggunakan benang berwarna (merah, kuning, biru, dan warna-warna terang lainnya), tidak menggunakan warna hitam. Lipa songke menggunakan benang berwarna hitam sebagai warna dasar dan benang-benang berwarna dijadikan sebagai sulam atau motif. Benang yang digunakan sebagai bahan baku merupakan benang yang memiliki tekstur lebih kuat dari benang sulam. Kedua kain ini lazimnya ditenun oleh kaum hawa yang sudah dewasa (hendak menikah) dan/atau sudah menikah. Bagi wanita yang hendak menikah, kemampuan untuk menenun songke merupakan sebuah kewajiban, bahkan dituntut. Jika hal ini tidak dipenuhi, pihak keluarga belum dapat memberikan izin bagi sang perempuan untuk menikah.
Beberapa kriteria songke yang dihasilkan agar mendapat pengakuan dan layak untuk berumah tangga, diantaranya 1) bagian pinggir atau sisi paling luar songke harus lurus. Bagi penenun pemula, menghasilkan songke yang rapi pada bagian pinggir atau sisi paling luar barangkali hampir mustahil. Hal ini disebabkan oleh tangan yang masih berat untuk mengakat dan memindahkan alat-alat yang dipakai dalam penenunan songke. Semakin lincah seseorang, semakin bagus pula pinggiran/tepian songke. 2) kemampuan menganyam motif. Songke syarat dengan motif. Semakin banyak dan sulit motif yang digunakan, semakin mahal pula nilai songke. Bagi penenun pemula, sebelum diajarkan untuk menenun songke, terlebih dahulu ia menenun surak, selain karena mudah, juga karena tidak memakai motif.
Kemampuan Memasak
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, memasak barangkali merupakan aktivitas yang sudah biasa dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Bahkan, begitu banyak orang yang belajar memasak menu-menu masakan dari daerah maupun mancanegara dengan berbagai macam tujuan, misalnya untuk perlombaan dan barangkali karena sekadar hobi.
Kontrasnya, perempuan dalam kebudayaan Manggarai menganggap memasak meruapakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum dirinya memutuskan menikah. Sifatnya memaksa sehingga menjadi suatu keharusan bagi perempuan. Memasak merupakan kegiatan mengabdi pada keluarga, baik orang tuanya sendiri, mertua, maupun tamu dari luar. Barangkali, hal tersebut yang membedakan masyarakat Manggarai dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, bahwa tuntutan terhadap seorang perempuan agar bisa memasak justru sebelum dia ingin berumah tangga. Jika kita bandingkan dengan kehidupan para aktris, misalnya, kemampuan memasak bukanlah sebuah tuntutan dan bahkan sang perempuan bisa belajar memasak justru setelah berumah tangga.
Seorang perempuan tidak diizinkan untuk menikah sebelum dia paham cara memasak. Memasak yang dimaksud di sini bukanlah memasak untuk tujuan kompetisi, untuk dinilai para juri, melainkan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan berumah tangga. Di sisi hal ini, masakannya pun berbau ciri khas daerah dan sangat bersyukur bila ia paham menu masakan luar. Penilaiannya pada cara menyajikan makanan, bentuk nasi/sayur yang dihasilkan, dan tentu saja rasanya.
Pengakuan dan Penghargaan bagi Lelaki
Laki-laki merupakan tulang punggung dalam keluarga ketika dia berumah tangga. Oleh karena itu, seorang laki-laki selain dituntut untuk membina rumah tangga, ia juga harus mampu membekali dirinya tentang cara bertahan hidup dalam kehidupan rumah tangganya nanti. Pada pembahasan terdahulu, telah disinggung mengenai perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam kebudayaan Manggarai. Laki-laki diperlakukan sebagi ‘orang dalam’ (ata one) yang dipahami seagai pihak yang diberi kekuasaan untuk menerima harta warisan orang tua (tanah, hewan peliharaan, dan/atau rumah) serta tinggal dan mendirikan rumah di tanah yang diberikan oleh orang tua). Jadi, hanya laki-laki yang diberikan hak warisan, sedangkan perempuan tidak.
Kemampuan Berkebun
Berkebun merupakan bentuk mata pencaharian bagi masyarakat Manggarai pada umumnya, terutama masyarakat pedesaan secara khusus. Berkebun merupakan kegiatan yang dilakukan secara bertahap, diantaranya membuka lahan, menanam, memelihara, dan memanen. Kemampuan berkebun merupakan tuntutan bagi laki-laki Manggarai sebelum membina rumah tangga. Tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang laki-laki Manggarai sebelum memilih untuk membentuk rumah tangga, diantaranya 1) membuka kebun. Membuka kebun untuk bercocok tanam harus dikuasai baik oleh laki-laki. Umumnya, lahan perkebunan orang Manggarai merupakan hutan yang baru dibuka karena sistem perkebunan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu, hutan harus ditebang terlebih dahulu. Beberapa ukuran yang dijadikan standar kelayakan seorang anak aki-laki untuk bisa membina rumah tangga, yakni cara memegang parang, cara memotong kayu, kecepatan menyelesaikan pembukaan lahan, kebersihan lahan yang dibuka, lokasi pembangunan pondok yang strategis untuk melindungi seluruh bagian kebun, dan keberanian untuk menjaga kebun sendirian. Selain itu, hasil yang diperoleh dari kebun ketika pemanenan menjadi ukuran tersendiri. Jika ia mampu mengalahkan orang banyak, hasil jagung, padi, dan tanaman lainnya di dalam satu kampung, maka ialah raja kebun pada masa itu. Tentu saja sebagai pemenang, ia akan dipuji oleh banyak orang dan menjadi panutan bagi orang lain. Jika hal-hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang laki-laki, orang tua tidak aan meragukan lagi sang anak karena dengan hasil kebun tersebut, ia mampu menghidupi dirinya sendiri atau keluarganya. Oleh karena itu, tugas orang tua ialah menawarkan si anak pilihan untuk menikah. Lazimnya, dijodohkan dengan sistem tungku, suatu sistem yang dipakai oleh kebudayaan Manggarai agar keturunan dari keluarga itu dapat bertambah atau berkembang. Dengan perkataan lain, silsilah keluarga itu tidak mati.
Kemampuan Berbicara: Memimpin
Kemampuan Berbicara pada lingkungan keluarga merupakan ukuran yang dapat digunakan ketika seorang anak berinteraksi dengan dunia luar. Sejauh mana seorang dapat mengunakan kemampuann berbicara untuk mempengaruhi orang lain merupakan standar penilaian tersendiri bagi seseorang tersebut untuk dapat memimpin. Zaman dahulu, perkelahian untuk memperebutkan tanah hingga ke tingkat desa merupakan masalah umum yang terjadi bagi masyarakat Manggarai. Untuk menyelesaikan sengketa, dibutuhkan sosok orang yang mampu/lihai dalam bermain kata-kata. Dari kejadian tersebut, lahirlah sebuah pemeo kala ata kala tombo dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Pemeo tersebut jika diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih akan berbunyi kalah yang kalah bicara. Ketika seseorang atau sekelompok orang mengeluarkan atau mengucapkan pameo tersebut, mereka sudah dibekali dengan sesajian (biasanya untuk menjaga diri) berupa air, akar kayu, atau bagian tubuh tumbuhan yang sudah didoakan secara tradisional.
Kelihaiann seorang anak dewasa dalam berbicara menjadi ukuran bagi para orang tua untuk dapat membina rumah tangga. Bahkan lebih dari itu, ia memiliki peluang untuk dipilih atau dijadikan pemimpin dalam satu kampung, tua adat misalnya.
==========
Author:
ariesrutung95
Selain beberapa hal di atas, dalam kebudayaan Manggarai, perempuan merupakan ‘orang luar’ (ata pe’ang). Istilah ‘orang luar’ dimaknai sebagai pihak yang kawin-keluar dan menyatu dengan keluarga laki-laki (mertua). Meskipun pada beberapa kasus, perempuan diperbolehkan tinggal bersama dan/atau dekat dengan keluarganya atas dasar beberapa pertimbangan, diantaranya keinginan orang tua, perempuan tersebut tunggal (anak semata wayang), dan/atau menantu (laki-laki) diminta mengurusi dan membantu mertuanya. Orang-orang seperti ini dilabeli sebagai ata kaeng one (orang yang tinggal di dalam) lingkungan keluarga, sebagaimana hak yang diberikan pada laki-laki.
Pengakuan dan Penghargaan bagi Perempuan
Sebagai ata pe’ang (orang luar), perempuan Manggarai harus memiliki beberapa kemampuan berikut ini.
Kemampuan Menenun Lipa
Menenun lipa merupakan hal dasar yang dituntut bagi perempuan Manggarai. Lipa adalah sebutan untuk kain yang terdiri atas dua bentuk, yakni lipa songke dan lipa surak. Lipa songke merupakan kain yang ditenun dan disisipi motif dari benang sulam berwarna (bukan hitam), sedangkan lipa surak adalah kain yang ditenun dan tidak bermotif. Lipa surak biasanya menggunakan benang berwarna (merah, kuning, biru, dan warna-warna terang lainnya), tidak menggunakan warna hitam. Lipa songke menggunakan benang berwarna hitam sebagai warna dasar dan benang-benang berwarna dijadikan sebagai sulam atau motif. Benang yang digunakan sebagai bahan baku merupakan benang yang memiliki tekstur lebih kuat dari benang sulam. Kedua kain ini lazimnya ditenun oleh kaum hawa yang sudah dewasa (hendak menikah) dan/atau sudah menikah. Bagi wanita yang hendak menikah, kemampuan untuk menenun songke merupakan sebuah kewajiban, bahkan dituntut. Jika hal ini tidak dipenuhi, pihak keluarga belum dapat memberikan izin bagi sang perempuan untuk menikah.
Beberapa kriteria songke yang dihasilkan agar mendapat pengakuan dan layak untuk berumah tangga, diantaranya 1) bagian pinggir atau sisi paling luar songke harus lurus. Bagi penenun pemula, menghasilkan songke yang rapi pada bagian pinggir atau sisi paling luar barangkali hampir mustahil. Hal ini disebabkan oleh tangan yang masih berat untuk mengakat dan memindahkan alat-alat yang dipakai dalam penenunan songke. Semakin lincah seseorang, semakin bagus pula pinggiran/tepian songke. 2) kemampuan menganyam motif. Songke syarat dengan motif. Semakin banyak dan sulit motif yang digunakan, semakin mahal pula nilai songke. Bagi penenun pemula, sebelum diajarkan untuk menenun songke, terlebih dahulu ia menenun surak, selain karena mudah, juga karena tidak memakai motif.
Kemampuan Memasak
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, memasak barangkali merupakan aktivitas yang sudah biasa dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Bahkan, begitu banyak orang yang belajar memasak menu-menu masakan dari daerah maupun mancanegara dengan berbagai macam tujuan, misalnya untuk perlombaan dan barangkali karena sekadar hobi.
Kontrasnya, perempuan dalam kebudayaan Manggarai menganggap memasak meruapakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum dirinya memutuskan menikah. Sifatnya memaksa sehingga menjadi suatu keharusan bagi perempuan. Memasak merupakan kegiatan mengabdi pada keluarga, baik orang tuanya sendiri, mertua, maupun tamu dari luar. Barangkali, hal tersebut yang membedakan masyarakat Manggarai dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, bahwa tuntutan terhadap seorang perempuan agar bisa memasak justru sebelum dia ingin berumah tangga. Jika kita bandingkan dengan kehidupan para aktris, misalnya, kemampuan memasak bukanlah sebuah tuntutan dan bahkan sang perempuan bisa belajar memasak justru setelah berumah tangga.
Seorang perempuan tidak diizinkan untuk menikah sebelum dia paham cara memasak. Memasak yang dimaksud di sini bukanlah memasak untuk tujuan kompetisi, untuk dinilai para juri, melainkan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan berumah tangga. Di sisi hal ini, masakannya pun berbau ciri khas daerah dan sangat bersyukur bila ia paham menu masakan luar. Penilaiannya pada cara menyajikan makanan, bentuk nasi/sayur yang dihasilkan, dan tentu saja rasanya.
Pengakuan dan Penghargaan bagi Lelaki
Laki-laki merupakan tulang punggung dalam keluarga ketika dia berumah tangga. Oleh karena itu, seorang laki-laki selain dituntut untuk membina rumah tangga, ia juga harus mampu membekali dirinya tentang cara bertahan hidup dalam kehidupan rumah tangganya nanti. Pada pembahasan terdahulu, telah disinggung mengenai perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam kebudayaan Manggarai. Laki-laki diperlakukan sebagi ‘orang dalam’ (ata one) yang dipahami seagai pihak yang diberi kekuasaan untuk menerima harta warisan orang tua (tanah, hewan peliharaan, dan/atau rumah) serta tinggal dan mendirikan rumah di tanah yang diberikan oleh orang tua). Jadi, hanya laki-laki yang diberikan hak warisan, sedangkan perempuan tidak.
Kemampuan Berkebun
Berkebun merupakan bentuk mata pencaharian bagi masyarakat Manggarai pada umumnya, terutama masyarakat pedesaan secara khusus. Berkebun merupakan kegiatan yang dilakukan secara bertahap, diantaranya membuka lahan, menanam, memelihara, dan memanen. Kemampuan berkebun merupakan tuntutan bagi laki-laki Manggarai sebelum membina rumah tangga. Tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang laki-laki Manggarai sebelum memilih untuk membentuk rumah tangga, diantaranya 1) membuka kebun. Membuka kebun untuk bercocok tanam harus dikuasai baik oleh laki-laki. Umumnya, lahan perkebunan orang Manggarai merupakan hutan yang baru dibuka karena sistem perkebunan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu, hutan harus ditebang terlebih dahulu. Beberapa ukuran yang dijadikan standar kelayakan seorang anak aki-laki untuk bisa membina rumah tangga, yakni cara memegang parang, cara memotong kayu, kecepatan menyelesaikan pembukaan lahan, kebersihan lahan yang dibuka, lokasi pembangunan pondok yang strategis untuk melindungi seluruh bagian kebun, dan keberanian untuk menjaga kebun sendirian. Selain itu, hasil yang diperoleh dari kebun ketika pemanenan menjadi ukuran tersendiri. Jika ia mampu mengalahkan orang banyak, hasil jagung, padi, dan tanaman lainnya di dalam satu kampung, maka ialah raja kebun pada masa itu. Tentu saja sebagai pemenang, ia akan dipuji oleh banyak orang dan menjadi panutan bagi orang lain. Jika hal-hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang laki-laki, orang tua tidak aan meragukan lagi sang anak karena dengan hasil kebun tersebut, ia mampu menghidupi dirinya sendiri atau keluarganya. Oleh karena itu, tugas orang tua ialah menawarkan si anak pilihan untuk menikah. Lazimnya, dijodohkan dengan sistem tungku, suatu sistem yang dipakai oleh kebudayaan Manggarai agar keturunan dari keluarga itu dapat bertambah atau berkembang. Dengan perkataan lain, silsilah keluarga itu tidak mati.
Kemampuan Berbicara: Memimpin
Kemampuan Berbicara pada lingkungan keluarga merupakan ukuran yang dapat digunakan ketika seorang anak berinteraksi dengan dunia luar. Sejauh mana seorang dapat mengunakan kemampuann berbicara untuk mempengaruhi orang lain merupakan standar penilaian tersendiri bagi seseorang tersebut untuk dapat memimpin. Zaman dahulu, perkelahian untuk memperebutkan tanah hingga ke tingkat desa merupakan masalah umum yang terjadi bagi masyarakat Manggarai. Untuk menyelesaikan sengketa, dibutuhkan sosok orang yang mampu/lihai dalam bermain kata-kata. Dari kejadian tersebut, lahirlah sebuah pemeo kala ata kala tombo dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Pemeo tersebut jika diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih akan berbunyi kalah yang kalah bicara. Ketika seseorang atau sekelompok orang mengeluarkan atau mengucapkan pameo tersebut, mereka sudah dibekali dengan sesajian (biasanya untuk menjaga diri) berupa air, akar kayu, atau bagian tubuh tumbuhan yang sudah didoakan secara tradisional.
Kelihaiann seorang anak dewasa dalam berbicara menjadi ukuran bagi para orang tua untuk dapat membina rumah tangga. Bahkan lebih dari itu, ia memiliki peluang untuk dipilih atau dijadikan pemimpin dalam satu kampung, tua adat misalnya.
==========
Author:
ariesrutung95